[1]

93 17 29
                                    

Ratusan langkah kaki bergerak, suara bising terus berkeliaran tak terkendali, bunyi khas dari sebuah bel dari ujung membuat ratusan manusia yang tadinya berjalan lambat bak kura-kura, kini harus beradu kecepatan dengan cheetah, sebab manusia mana yang ingin terlambat di pagi hari lalu mendapat semprotan nasihat ditambah omelan yang terkadang kalimat-kalimatnya bagaikan pedang katana. Tajam, bikin sakit walau tak berdarah.

Bel berbunyi. Bunyian yang mematikan. Hal tersebut membuat para manusia yang berseragam putih abu-abu dapat dengan cepat rapih di tempat miliknya sendiri. Berselang sekitar satu menit, datanglah seorang wanita paruh baya, berambut hitam pendek, kacamata yang selalu berada di pangkal hidung, dan suaranya yang keras dan lantang seperti para pedagang kaki lima.

Dibelakang wanita tersebut, ada seorang anak remaja jantan yang membuntutinya. Berseragam putih bersih yang masih kaku, seperti belum pernah disetrika, lambang sekolah SMA Negeri Bogor di kantung saku warnanya masih hidup, belum memudar seperti yang lain. Ia mengatupkan mulutnya, bibir atas dan bawahnya seakan diberi lem. Sangat enggan atau bahkan tidak bisa dibuka, barang sekecil lubang semut.

"Anak-anak, disamping Ibu ada anak baru. Pindahan dari Bandung. Namanya... nama kamu siapa?" Wanita yang dipanggil Ibu Guru itu memperkenalkan anak lelaki disampingnya.

"Rafa, Rafa Wicaksono."

"Yasudah, Rafa boleh duduk di bangku urutan keempat di sebelah kiri. Temenin ya anak-anak! Jangan dijailin, apalagi dibuli!"

Anak remaja bernama Rafa tersebut melangkah menuju tempatnya. Berjalan santai tanpa melihat sisi sampingnya. Lalu duduk anteng seperti bayi yang baru dibelikan mainan.

"Seperti biasa, tiap pagi kita latihan soal matematika," suara keluhan dan puluhan umpatan secara tiba-tiba keluar dari mulut para pelajar yang tingkat kemalasannya meningkat tiap hari. Biasanya pelajar yang seperti itu hanya belajar dalam lima menit, setelah itu lanjut menuai candunya dengan gawai atau gadget, padahal niatnya diawal ingin belajar supaya esoknya dapat mengerjakan soal latihan dengan mudah. Nyatanya niat tersebut dipatahkan dengan sebatang handphone yang tak berhati nurani.

"Udah gak usah ngeluh! Kapan mau bisa kalau ngeluh terus."

Setelah itu semua mulut terbungkam. Tidak ada yang berani bersuara. Kecuali anak laki-laki disamping Rafa. Yang tiba-tiba mengajaknya berbicara.

"Ssut.."

Rafa membalasnya dengan mengangkat alis. Rafa malas menggerakkan mulutnya untuk sekedar berbicara 'Apa?'

"Kalo ngerjain soal latihan sama ni guru, gak usah serius-serius."

"Emang kenapa? Soalnya susah?" Rafa bertanya dengan volume yang rendah. Takutnya guru didepannya tersebut mendengar ucapannya.

"Susah mah relatif. Tapi maknanya, maknanya kita ngerjain ini apa?!" Orang disamping Rafa memprotes bagaikan sedang bermonolog. Penuh dengan pengkhayatan.

"Maknanya, yang tadinya gak bisa dan ngerti, jadi bisa dan ngerti."

"Iya. Tapi lo tau gak? Nilai latihan kita gak pernah dimasukkin ke buku nilai. Cuman di paraf doang. Nantinya cuman jadi sampah, man! Makanya gue lebih milih ngerjain asal, karena makna--"

"Dandi! Ngomong apa kamu?! Sekali lagi ngomong, ibu tambahin soal yang banyak buat kamu!" Lelaki yang bernama Dandi langsung terjerat. Menghentikan omongannya. Lalu duduk rapih seperti anak kecil di Taman Kanak-Kanak.

Rafa memfokuskan matanya kedepan. Melihat orang-orang di depannya sedang mengoper-oper kertas lembar. Hingga tiba datang sepasang tangan anak perempuan yang sedang menaruh sisa lembaran kertas di atas meja Rafa.

First Heartbreak's RafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang