[3]

40 11 10
                                    

Pelajaran terakhir, jam kelas terakhir, bukannya menambah semangat karena sebentar lagi akan pulang, malah membuat manusia-manusia yang kegerahan dan kepanasan akibat salah satu AC mati dan yang satunya lagi dimonopoli, menjadi malas level dewa. Seharusnya dan seinginnya mereka adalah jam kosong. Tiada guru dan pelajaran yang membebani.

Untungnya pelajaran terakhir dari kelas Rafa adalah kelas seni. Sudah tentu kelas seni tidak akan bermain rumus logaritma. Yang ada bermain alat musik. Tapi sangat disayangkan, ruang musik adalah ruangan terengap yang pernah ada.

"Serius engap banget?" Tanya Rafa yang tidak yakin. Sebab, yang mengatakan ruang seni sangat engap adalah Dandi.

"Banget. Bayangin aja lo ada di dalem lemari tua berhari-hari. Gitu rasanya." jelas Dandi sambil berjalan beriringan dengan Rafa menuju ruangan musik di lantai dua.

"Lebay lo. Kita cuman sejam doang disana."

"Tau darimana lo?"

"Cewek-cewek."

Dandi mengangguk. Mereka telah sampai di depan pintu ruangan musik. Rafa melihat pintu kecil transparan yang ditempeli sticker peringatan dan sedikit sticker bertuliskan nama sebuah band-band lama.

Pintu tersebut tiba-tiba terbuka dengan suara nyaring, membuat Rafa terkejut. Mungking daun pintunya sudah berkarat, makanya bisa berbunyi nyaring. Atau pintunya sudah tua, tapi Rafa masa bodoh. Ia ingin cepat-cepat masuk ke dalam.

Yang pertama Rafa lihat di ruangan ini adalah, sepaket alat band yang dirapihkan ke dinding belakang. Sehingga ada lahan kosong yang dipakai untuk duduk.

"Kamu anak baru?" Rafa yang sedang duduk bersila disamping Dandi, menoleh ke arah suara perempuan. Perempuan itu masih muda. Seumuran tantenya yang ada di Bandung. Sebagai jawaban, Rafa hanya mengangguk.

"Namanya?"

"Rafa Wicaksono."

Perempuan tersebut mengangguk lalu berjalan ke depan. Berdiri di antara sekumpulan manusia-manusia susah diatur.

"Selamat siang semuanya!"

Sapaannya dibalas serentak oleh murid-murid.

"Yang belum tes alat musik sudah siap hari ini?"

Pertanyaannya mendapat respon yang beragam. Keluhan disebelah kanan, sebuah teriakkan kecil karena tidak siap dari belakang, dan seruan kata-kata bahagia.

"Untung gue udah." Dandi mengusap-usap dadanya seraya menghembuskan nafas lega.

Nama demi nama dipanggil oleh perempuan muda tersebut. Hingga satu nama terakhir terpanggil, Nadine. Ia tegang tak karuan. Ia tidak bisa menaklukan apapun, termasuk alat musik.

Ia bangkit dari duduknya, dan menuju ke depan. Berdiri di belakang keyboard dengan jari-jarinya yang mulai mendingin. Dalam hitungan detik, terdengar sebuah nada minor yang putus-putus.

Semua mata memandang permainan Nadine. Termasuk Rafa. Disaat semua orang memandang Nadine aneh karena permainan keyboardnya, Rafa justru tersenyum. Nadine dalam keadaan apapun tetap sama. Selalu membuat Rafa ingin tersenyum.

Senyuman Rafa tertangkap oleh mata Dandi. Dandi menatap bingung. Ada hal aneh dari Rafa yang belum Dandi ketahui.

"Heh Wicak! Serius amat liatinnya." Dandi menoyor kepala Rafa. Yang ditoyor menatap sinis Dandi lalu merapihkan rambutnya yang berantakan.

"Apaan sih lu, Wicak, Wicak."

Dandi tersenyum masam. Hingga tuts terakhir dari Nadine membuat satu ruangan bertepuk tangan lemas. Rafa ikut-ikutan bertepuk tangan. Dan lagi-lagi ia mengembangkan senyumannya.

First Heartbreak's RafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang