[4]

63 11 15
                                    

Rafa membuka pintu santai. Mengucapkan salam pelan tanpa ada balasan. Dinginnya lantai langsung menyelimuti telapak kaki Rafa yang sudah terlepas dari sepatu dan kaus kakinya.

"Udah pulang?" Seru sebuah suara dari belakang Rafa. Abahnya sedang menenteng perkakas alat bengkel. Tangannya penuh dengan bekas oli.

"Udah Bah. Abah dari bengkel?"

"Iya. Bantuin dikit-dikit." Abah melewati Rafa yang sedang berdiri diam, menatap Abahnya dalam.

"Bah, Mamah 'kan udah bilang, Abah gak usah ke bengkel lagi. Lagian udah ada karyawan Abah juga 'kan yang ngurusin. Abah di rumah aja istirahat."

"Abah gak betah kalo diem terus di rumah."

Rafa menghela nafasnya. Abahnya memang keras kepala. Seperti Mamahnya. Dan mungkin juga dirinya. Rafa selalu khawatir jika melihat Abah satu-satunya tersebut harus melakukan hal-hal yang berat. Menurut Rafa, masa lansia Abahnya seharusnya diisi oleh istirahat dan ketenangan.

"Besok-besok kalo Rafa belum pulang sekolah, Abah dirumah aja ya, gak usah ke bengkel. Biar nanti bengkel Rafa yang bantuin."

Abahnya sudah kembali dari dapur dengan tangan yang sudah bersih. Beliau duduk di kursi rotan miliknya.

Abahnya tersenyum mendengar cucunya, Rafa menasihatinya. "Kamu ini kaya Mamah kamu, khawatir mulu, nasihat mulu. Abah teh masih gagah."

Rafa tersenyum. Ia memutar badan untuk melangkah ke kamarnya. Sampai suara Abahnya menghentikan langkahnya.

"Rafa. Di SMA yang dulu emang biasanya kamu pulang jam segini juga?"

"Tergantung, Bah."

"Rafa, nikmatin aja masa-masa remaja kamu. Masa remaja tidak akan terulang dua kali loh. Abah gak larang kamu pulang lebih sore, atau sampai malam. Tapi inget, harus tetap di dalam batasan."

Rafa mengangguk paham, "Iya, Bah."

Lalu Rafa melanjutkan langkahnya, dan menaiki anak tangga untuk ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Rafa langsung melempar tasnya ke sembarang arah dan melompat ke atas tempat tidurnya. Ia memejamkan matanya. Merasakan empuk kasurnya. Rafa tenggelam di dalam khayalan pulau kapuknya.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia belum menerima undangan grup kelasnya. Dirogohnya kantung celana abu-abunya. Dengan sekali tekan, Rafa sudah bergabung dengan grup kelas barunya.

Rafa wicaksono joined a group.

Lintang : bsk prnya apa cuy

Jaya : gaya lu tang nanyain pr

Jaya : biasa nyontek ke arafah juga

Lintang : seenggaknya

Indah : selamat datang rafa!

Nuri : slmt dtg sang maestro ukulele!

Rani : welcome to the hell fa

Rafa : sgala diucapin

Dandi : eh si wicak punya line kaga blg2

Lintang : set kacang panjang nih

Jaya : wicak syp bege dan

Dandi : si rafa

Nadine : lah rafa acc grup? Gue kira gak bakal mau masuk grup dia

Melihat nama Nadine muncul di ruang percakapan, Rafa diam sejenak. Tidak membaca obrolan selanjutnya, hanya memandang nama Nadine di layar ponselnya kurang lebih dua detik.

First Heartbreak's RafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang