Chapter 2

66 40 45
                                    

Hari berganti hari, tak tau siang atau malam, laki-laki ini selalu menyempatkan dirinya untuk sekedar melamun di balkon apartemennya. Ia sadar ini tidak akan mengembalikan apapun, namun ia merasa kenangan ini masih ada, masih terasa seperti dulu.

Rehan, pria tampan dengan beribu kharisma. Mata hitamnya menatap tajam foto yang ia genggam, kenangan manis bersama kekasihnya, selalu membuat ia sulit mengalihkan pikiran dan perasaannya.

Berjuta kali ia melupakan, tapi itu sulit, berkelahi dengan perasaan dan pikirannya membuat ia capek, mencoba mencari pengganti namun percuma hatinya sudah stuck hanya kepada Dyna Altia. Mantan kekasihnya. Ah, kekasihnya karena pria itu tidak pernah memutuskan hubungan antara keduanya, gadis itu pun tidak pernah memutuskan hubungan tersebut. Tapi, tuhan lah yang memutuskan hubungan mereka.

Sudah 5 tahun berlalu, semenjak SMA hingga sekarang, kata move on dan semangat dari teman teman serta kerabatnya tak pernah berhenti. Tapi apa! Sia-sia, ia tidak bisa memaksa, memaksa Dyn keluar dari hatinya, ia tak bisa. Ini sulit.

Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan fokus kepada pekerjaan, hingga perusahaan nya melejit, sukses dan menjadi satu satunya perusahaan kaos kaki tersukses di negeri ini.

Ia pun tak menyangka, keluarganya bangga dengan dia, tapi Rehan merasa ia belum ada apa-apanya, untuk apa dia sukses, sementara orang yang ia ingin sukseskan kebahagian dunia akhiratnya sudah mendahuluinya.

Dyn aku selalu merindukanmu (9.20 pm : Rehan).

◾◾◾

Fisya dengan serius menatap layar televisi didepannya, tajam, dan mengintimidasi, untungnya tv yang Fisya punya adalah tv mahal, bila tidak itu tv bisa pecah di tatap oleh mata Fisya.

"Salip salip! Kejar!" Fisya mengepalkan tangan kananya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Babang rossi kuh" kini kedua tangan Fisya menangkup kedua pipinya, popcorn yang dibuat ibundanya bertebaran keselurun penjuru lantai. Fisya tidak bisa diam.

"Tikung terus! Walaupun temen tikung aja, gak papa.."

"Mantap, gue harus belajar nikung sama babang rossi.."

"Widiih urutan ke dua, berkat menikung!" Fisya dengan bahagia memungut popcorn nya yang ada dilantai, tidak peduli bila terdapat banyak kuman, toh bakteri dan kuman akan takut kepada Fisya.

Duing. "Apaan dah! Noyor noyor." Fisya membalikan badannya, pria tampan tinggi sedang bersedekap tangan, sok kegantengan banget nih orang.

"Udah malem, sana tidur!" Suruh pria tersebut. Detik kemudian dia duduk dilantai bersebelahan dengan Fisya, ikut mengambil popcorn yang berceceran dilantai. Kakak beradik sama-sama jorok.

Namanya Afatar Giofani, panggilanya bukanlah -Eng- sebut saja ia Fatar. Tapi dengan resenya Fisya selalu menyebut nama sang kakak dengan sebutan Eng.

"Tanggung kak, ini lagi seru. Bentar aja janji." Fisya menunjukan dua jarinya bermaksud untuk berdamai dengan sang kakak.

"Gak! tidur gih sana, bocah gak boleh nonton tv lama lama, hushus" Fisya menatap Fatar benci, sementar Fatar lahap memakan popcorn yang sudah terkumpul di bit kaca.

"Sebagai adik yang baik hati dan berbudi luhur, gue akan menuruti semua perintah kakak Eng, kalau babang rossi gue menang jangan lupa Whatsapp gue kak!" Seru Fisya. Ia berdiri dan mulai ogah ogahan berjalan menuju ke kamar nya.

Hemm.. Fatar berdehem.

"Nah kan gue bisa nonton balapan dengan tenang haha.." kakaknya tertawa, dengan nikmat dan hidmat dia menonton tv dan memakan popcorn didepannya. Bekas sang adik.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang