2

68 6 2
                                    

Detingan jarum jam terdengar nyaring di kelas. Tidak ada yang berani bersuara dipelajaran Fisika, terutama karena mata bu Leni yang seperti laser tajam menatap para murid.

Sudah 5 menit Sisil berdiri diam di depan papan tulis, membuat mendidih darah bu Lemi.

"Kenapa kamu diam?" Tidak ada suara yang menyahut.

"Keluar kamu!" Sisil meletakkan spidol di atas meja, berjalan melewati bu Leni yang mengintai setiap langkah kakinya.

Langkah kakinya berhenti di bawah pohon yang rindang. Gadis itu menyandar pada batang pohon yang besar diringi helaan nafasnya.

Bel penyelamatan murid murid berbunyi, membuat semuanya menghela nafas berhasil kabur dari pelajaran yang sangat menguras kinerja otak mereka. Satu hal yang lebih menarik dari kelas ini karena tidak ada satu pun murid yang keluar untuk ke kantin. Rata rata membawa bekal atau minta dengan temannya. Sisil hanya duduk di pojok kelas, hal yang selama sebulan ini dilakukannya tanpa mengobrol dengan teman yag lain.

Seorang gadis dengan tinggi semampai mendekati Sisil diikuti anak anak perempuan yang lain. Mereka membentuk lingkaran dan mengerumunin Sisil. Membuat gadis itu bingung, apa yang mau dilakukan orang orang ini?

"Hai nama gue Karlina panggil aja Lina." Lina itu mengulurkan tangannya membuat Sisil bengong, karena merasa diabaikan Lina menarik tangan Sisil lalu menaik turunkan seperti orang berjabat tangan. Kemudian disusul dengan murid yang lain sedangkan Sisil masih betah bengong .

"Hello, lo enggak kesurupankan?" Seketika gadis itu sadar dan merilekskan wajahnya.

"Enggak," jawabnya singkat.

"Orang sudah bicara panjang kali lebar cuman dijawab singkat," ucap Lina kesal.

"Lo lagi sariawan ya?"

"enggak."

Karena kesal akhirnya Lina berbicara dengan yang lain. Para gadis itu berbicara sangat panjang dan lebar. Perlu kalian tahu kalau kelas mereka ini memiliki murid yang paling sedikit cuman 14 orang termasuk dirinya. Tapi kalau sudah jam istirahat kelas ini bagaikan pasar, ributnya minta ampun.

Bel bertanda masuk pun berbunyi membuat siswi yang tadi mengerumuninya hilang satu persatu kembali ke tempat duduknya. Tapi gadis bernama Lina itu nampaknya sangat betah duduk di sampingnya.

"Lo besok bawa bekal dong, emang lo enggak laper apa sebulan ini cuman duduk di sini aja enggak bergerak kayak mayat hidup lo. Pulang juga yang terakhiran. Lo tuh harusnya bersosialisasi dengan teman sekelas. Mereka sebenarnya mau kenalan sama lo tapi lo kayak orang bisu tau enggak? bicara irit banget."

Sisil hanya mendengar apa yang gadis di sampingnya ucapkan tanpa niatan untuk menjawab. Sampai suatu suara menyentaknya.

"Lo dengar entgak sih?" geram Lina.

"Iya."

"Huft ..." Sisil dapat mendengar helaan nafas dari bibir gadis itu sebelum beranjak dari tempatnya.

"Yaudah besok gue sama yang lain ke sini lagi, awas lo enggak bawa bekal nanti gue yang bawain lo tiap hari."

Lina menatap tajam Sisil. Sungguh gadis yang aneh pikir Sisil dan dari mana gadis itu mengetahui gerak geriknya. Apa gadis itu memata matainya? entahlah. Tapi sebenarnya gadis itu sangat perhatian kepadanya melebihi keluarga yag tidak pantas disebut keluarga itu "Cih," desis Sisil.

-----

Seperti hari hari sebelumnya Sisil selalu mampir ke sebuah cafe, melayani pelanggan yang selalu datang dan pergi. Sungguh suatu pekerjaan yang melelahkan tapi ini semua demi bibinya. Keluarga yang mau menganggapnya, bahkan orang yang tidak memiliki ikatan darah dengannya saja bisa menghargainya, lalu kenapa orang orang yang sedarah dengannya mengaggapnya bagaikan mahluk kasat mata. Sungguh hidup yang tidak adil pikir Sisil, dia tersenyum pahit mengingat satu fakta yang sangat menyakitkan sampai ke dasar hatinya yang paling dalam.

Ends In Seven DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang