6

37 4 2
                                    

Pelajaran matematika adalah momok menakutkan bagi murid kelas Sisil,  bagaimana tidak sudah pelajarannya susah ditambah gurunya killer. Merupakan suatu musibah untuk murid murid.

Siang itu Pak Yono masuk ke kelas dengan wajah garang andalannya. Kemudian dengan baik hatinya memberikan 10 soal limit dalam waktu 30 menit. Membuat suasana kelas bertambah berisik.

Sisil dengan santai menguap dan menatap bosan soal tersebut tapi konsentrasinya tiba tiba pecah karena adu mulut antara Hana dan Irvan yang duduk tepat di depannya.

Sisil berusaha mengabaikannya tapi lama kelamaan bukannya berhenti mereka berdua tambah ribut membuat kepala Sisil hampir pecah rasanya.

"Ihh itu salah Irvan jawab lo nomor 5, tinggal masukin aja angkanya."

"Salah bego, kalau gitu nanti hasilnya 0."

"Enggak kok, gue dapat hasilnya dua."

"Lo itu salah hitung dodol, cantik cantik tapi bego," guman Irvan diakhir ucapannya yang mengundang kemarahan sang pendengar.

"Apa? lo bilang gue bego, lo itu yang bego. Masa ini akarnya langsung hilang aja."

"Bacot lo! Soal beginian kenapa dipusingin sik, sudah jawaban gue yang paling benar," ucap Irvan percaya diri sambil mengusap telinganya yang lelah mendengar ocehan Hana.

"Lo itu salah Pan!"

"Lo yang salah dodol!"

"Lo ... "

"Lo ... "

"Ihhhh .... lo yang sa- "

Kepala Sisil pusing bagai dihantam godam membuat gadis itu mengebrak meja frustasi.

Brak ...

"Lo berdua bisa diam enggak, kalian berdua itu sama sama salah bego. Soal nomor lima itu dikali dulu sama akar sekawannya. Terus lo coret yang sama. Terus masukin angkanya. Sudah dapat hasil. Gitu aja ribet banget lo berdua. Pusing tau enggak kepala gue dengerin kalian dari tadi. Nomor berapa lagi yang enggak tau hah? Nomor 6? Nomor itu paling mudah tau enggak?"

Dada Sisil naik turun masih mengatur nafas dan wajahnya merah padam menahan amarah. Sampai pandangannya menyapu seluruh kelas dan seketika kesadarannya kembali. Semua orang di kelas melihatnya yang masih berdiri termasuk pak Yono, guru matematika killer.

Sisil menggaruk teguknya yang tidak gatal. Sisil mencoba duduk kembali tapi pergerakannya terhenti ketika Pak Yono memanggil namanya dengan lantang.

"Arabella Silvia maju ke depan bawa bukumu!"

'Mampus gue,' batin Sisil.

Dengan enggan Sisil maju ke depan kemudian menyerahkan bukunya. Pak Yono memeriksanya dengan teliti.

"Kerjakan sepuluh soal di depan dan jangan menipu saya, kamu tau sendiri akibatnya."

Yah siapa yang tidak tau dengan hukuman dari pak Yono. Beliau bahkan tidak akan segan segan untuk membuat murid tersebut di DO dengan mudahnya.

Sisil berdecak merutuki kebodohannya. Dengan mengumpat Sisil mengerjakan sepuluh soal tersebut dengan mudahnya dalam waktu beberapa menit saja membuat murid IPA 3 berdecak kagum.

Pak Yono memeriksanya kemudian senyumnya mengembang.

Prok ! Prok ! Prok !

Tepuk tangan dari pak Yono. "Saya baru tau di kelas ini ada murid yang memiliki otak encer. Lalu kenapa selama ini kamu menuutpinnya?"

"Itu masalah pribadi saya pak," ujar Sisil datar.

"Boleh saya kembali ke tempat duduk saya pak?"

"Silahkan."

Kemudian Sisil berpaling dan melangkah ke tempat duduknya.

Teman temannya masih memperhatikan Sisil tidak percaya dan  bertepatan dengan Sisil yang duduk manis di kurainya, bel pulang sekolah bergema.

Sebelum Pak Yono berhasil meninggalkan kelas. Semua siswa berbondong bondong mengerumuni meja Sisil. Membuat gadis itu mengumpat entah keberapa kalinya.

"Wih gila ternyata selama ini otak lo encer banget ya Sil."

"Belajar di mana lo sil? Atau lo makan buku ya makanya pinter banget?"

"Lo harus ajarin gue. Harus!"

Dengan gerak cepat Sisil memasukan semua barangnya kemudian berlari keluar kelas meninggalkan teman temannya yang berisik bak kerumunan lebah.

"Apa lagi bagian diri lo yang belum gue tau," guman Dave.

Sisil menarik semua pasokan udara yang behasil dia hirup. Menumpuhkan kedua tangannya di kedua lutut. Kemudian duduk di kursi yang tidak jauh darinya. Karena kini dadanya terasa terhimpit akibat berlari dan berdesak desakkan dengan kerumunan murid murid Pelita Harapan.

Sisil masih mengatur nafasnya. Sampai sebotol air mineral muncul di depannya. Dengan cepat gadis itu meminumnya sampai habis tidak bersisa tapi dahinya berkerut heran. Siapa yang memberinya minum?

Kemudian matanya menangkap sepasang sepatu putih dna pandangannya naik ke kaki, badannya dan terakhir wajahnya. Sisil hanya memandang datar Raihan yang juga memandamgnya datar.

" Thanks."

Sisil berdiri lalu berjalan melewati Raihan tapi langkahnya berhenti akibat cekalan pada tangannya.

"Lepas!" Sisil menghentakkan tangan Raihan tapi tangan itu tetap mencekalnya.

"Siapa lo sebenarnya?"

"Gue bukan siapa siapa." Mereka saling betatap tajam tidak mau kalah.

"Siapa lo?"

"Enggak penting siapa gue buat lo."  Sisil menekan setiap kata dalam ucapannya.

"Penting! Karena lo seperti bayangan masa lalu gue."

"Apa begitu penting bayangan masa lalu lo itu? Kalau begitu penting kenapa lo kehilangan dia?"

"Karena gue merusak kepercayaannya." lirih Raihan dan pegangan Raihan terlepas .

Sisil melangkah membelakangi Raihan tapi berhenti ketika jarak mulai memisahkan. "Semakin kita percaya dengan seseorang, semakin mudah kepercayaan itu rusak. Kepercayaan dibangun sedikit demi sedikit tapi satu kesalahan fatal menghancurkan itu semua."

"Dan membangun kepercayaan itu kembali tidak semudah membalikkan telapak tangan ataupun semudah yang lo bayangkan."  Sisil berlalu meninggalkan Raihan yang terdiam.

Dari lantai dua sekolah dan dari sisi yang berlain. Dua pria melihat adegan demi adegan itu terjadi yang satu mengepal tangannya kuat, yang satu lagi hanya memandangnya datar.

Sisil menelusuri lorong koridor yang mulai sepi. Kakinya sudah melangkah melewati tempat parkir tapi langkahnya terhenti karena ada seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya. Kemudian melemparkan ke sebuah mobil berwarna merah.

Bukannya berteriak Sisil malah melotot melihat siapa yang berada di mobil ini.

Sedangkan keempat gadis itu tertawa nyaring seolah berhasil dalam misi mereka. Sisil hanya melipat kedua tangannya tidak perduli dan bersandar dengan nyaman.

Sebuah gerbang terbuka dan menampilkan rumah bercat putih yang di kelilingi halaman yang nampak asri dan luas. Entah rumah siapa ini, nanti dia juga akan tau pikir Sisil.

Gea menarik tangannya memasuki rumah di depan mereka. Lina yang memandung di depan. Seorang perempuan parubaya membuka pintu untuk mereka.

Palembang , 1 Juli 2017 .

Morning guys .
Semoga menjadi hari yang baik di awal Juli guys .
Love you .
Kalau ada saran atau kritik jangan sungkan comment atau chat langsung guys . Dengan senang hati akan aku jawab sebisaku .

Happy ready . Tunggu kelanjutannya .

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ends In Seven DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang