5

3.5K 403 12
                                    

Aku berpikir, bahwa apa yang terjadi semalam tidak berarti apapun. Aku memilih memulainya lagi pagi ini. Mungkin dengan setangkup roti dengan isian smokedbeef akan membuat hari ini lebih baik dari kemarin. Aku tersenyum untuk harapan yang baru saja kubangun disela kegiatan memanggang roti. Aku memang tidak bisa memasak. Tapi setidaknya aku masih bisa membuat makanan simpel.

Dari sudut bulu mata, aku melihat dia melangkah seraya mengancingkan lengan bajunya. Dia menghampiriku dengan kerutan di dahinya.

“Kamu ngapain?” tanyanya.

“Selamat pagi, Abang,” sapaku saat dia mengecup keningku.

“Selamat pagi, Sayang. Kamu ngapain pagi-pagi sibuk sendiri?" tanyanya sekali lagi.

“Sarapan buat Abang,” ucapku pelan lalu tersenyum lebar.

Dia terkekeh. Tangannya seperti biasa, mengusap puncak kepalaku.

“Biasanya kamu beli. Itu bikin kamu tambah kerjaan. Yang praktis aja, Sayang.”

Aku  mendengus. Entah alasan apa dia tidak pernah mengijinkan aku mencoba membuat makanan. Oh, aku paham, apa dia takut kuracuni? Aku terdiam seketika begitu mengingat sebuah fakta yang menohok bahwa aku sama sekali tidak bisa memasak. Tanganku berhenti memberikan isian pada roti di hadapanku. Padahal tadi aku sudah semangat untuk mengawali semuanya. Tapi ah, sialnya, aku menjadi cengeng sekarang.  Entah kenapa sesak itu menjadi kian rutin hadirnya.

“Aku kan cuma ingin membuatkan sesuatu buat Abang. Emangnya salah?" ucapku masih menahan kesesakanku.

“Kamu itu nggak bisa masak. Nggak usah yang macam-macam. Kecuali kamu berniat racunin Abang. Sudah ah, Abang berangkat. Nanti siang kamu delivery aja kalau kamu mau makan. Bye, Sayang. Kalau mau pergi-pergi kasih kabar. Abang hari ini pulang malam.”

“Ya sudah. Kalau Abang nggak mau. Aku makan sendiri saja!”

“Lagian kamu aneh-aneh aja. Abang kan nggak pernah minta kamu masak. Sudah ya, baik-baik kamu di rumah.”

Aku menatap nanar kepergiannya. Kamu itu nggak bisa masak, Ichlal! Nggak usah sok-sokan bikin makanan. Suamimu itu benar. Kamu mau racunin dia? Seseorang di dalam diriku mengejekku dengan sinis.

Tapi aku tidak sekonyol itu. Aku dulu sering membuat ini, dan nyatanya aku masih bernapas sampai sekarang. Apa orang tidak bisa masak sepertiku tidak boleh belajar? Aku hanya ingin berbuat sesuatu untuknya. Tapi kenapa sulit baginya untuk menghargaiku? Dia boleh membuangnya nanti kalau takut keracunan. Tapi tolong, tidak bisakah menghargai usahaku? Setidaknya jangan mengeluarkan kalimat bernada mencemooh itu. Aku menggerutu dalam hati.

Napasku kini tersengal-sengal. Aku tidak bisa menangis. Aku menyeret kaki ke meja makan, terduduk di sana. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengendalikan keremukanku selain menangkupkan tangan di wajahku. Kamu sukses membuatku remuk sekali lagi dengan menunjukkan ketidakberdayaanku!

Tapi, lakukan, Nara. Selagi aku masih mampu untuk bertahan, aku akan diam menyimpannya. Karena aku sungguh tidak ingin ada pertengkaran. Sudah cukup aku menelan semua kepahitanku dulu, sekarang biar aku berusaha mendapatkan kebahagiaanku. Mungkin dengan kamu, suamiku, dan aku berharap itu sebuah kebenaran.

Aku menarik napas panjang sebelum beranjak dari dudukku kembali pada jejeran roti panggang tanpa isi. Aku mengambil isian dari mangkuk, mengolesinya ke atas lembaran roti itu.

Nggak apa-apa. Ini buat makan siangku. Setidaknya aku nggak perlu delivery yang hanya akan menambah pengeluaran saja. Lumayan hemat 50 ribu hari ini, gumamku dalam hati menghibur diri sendiri.

BREAKEVEN [New Vers] Sudah Terbit√√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang