“Namanya Thalita. Adik kelasnya masa SMA. Dia pernah sangat mencintai gadis itu. Dia melakukan hal yang sama. Menentang orangtuanya yang nggak bisa menerima Thalita. Thalita cantik. Anak orang terpandang.
Bukan orangtuanya nggak mau menerima gadis itu. Hanya saja merasa perbedaan mereka terlalu jauh. Tapi seiring berjalannya waktu, Thalita meninggalkannya. Alasannya sama sepertimu. Tapi bedanya, itu hanya alasan. Karena sebenarnya Thalita menyerah pada Nara dan lebih memilih menerima yang lain. Yang bisa menerima Thalita. Dan apa kamu tahu? Laki-laki itu adalah teman dekat Nara sendiri.”
“Nara punya teman selain kalian?”
“Tentu saja. Kami hanya sebatas teman sejak kecil. Sedangkan setiap waktu teman Nara pasti akan bertambah.”
Aku menghela napasku. Di dalam pikiranku muncul sebuah pertanyaan, kenapa harus serumit ini?
Mengingat pembicaraanku dengan Bima sepulang dari rumah orangtua Nara semakin membuat kepalaku berputar.
“Inilah yang membuat orangtua Nara sulit menerima seseorang. Apalagi yang membuat Nara kembali berani melawan orangtuanya. Ini juga yang membuat Mentari memasang badan bahkan terkesan menghalangi kalian. Tari pernah menjadi wanita yang dicintai Nara. Tapi Tari nggak bisa membalas cintanya. Tari hanya berjanji untuk menjaga Nara agar nggak tersakiti lagi.”
Tanganku kini mengusap wajah. Secangkir kopi di hadapanku bahkan hampir dingin. Memikirkan segalanya membuatku sedikit limbung. Aku menjadi ragu apa aku harus berpisah dengannya atau tetap bertahan. Rintihan memohon itu tidak bisa kulupakan begitu saja. Ditambah dengan penjelasan Bima siang itu saat aku sengaja menemuinya tanpa Nara tahu, di kedai.
“Maaf baru datang. Jalanan macet. Kupikir weekend jalanan akan sepi. Nyatanya pengerjaan gorong-gorong menambah masalah baru.”
Aku mengangkat wajahku, mendapati Davis sedang menarik kursi di hadapanku. Aku hanya tersenyum tipis sebagai reaksiku.
“Jadi, kamu sudah menemui orangtuanya?” tanya Davis setelah dia benar-benar duduk.
“Sudah. Mereka memohon untuk tetap bertahan. Juga sahabatnya.” Aku mengembuskan napas lalu menumpukan kedua siku di meja. Aku melarikan tatapanku ke luar jendela.
“Kamu sudah mengantar surat itu?”
“Belum. Aku ragu. Saat perasaan mengalahkan segalanya, aku nggak bisa menggunakan akal sehatku. Entah aku yang egois atau mereka," sahutku lesu.
Davis mengerutkan keningnya. Dia menegakkan tubuhnya, memberinya mimik muka lebih serius.
“Yang menjadi masalahnya apa? Baru saja kamu begitu yakin ingin berpisah darinya.”
“Alasan mereka sulit menerimaku. Karena masa lalu Nara. Nara pernah mengalami ini saat mereka masih pacaran. Nara sangat mencintai gadis itu sampai dia membela mati-matian gadisnya di hadapan orangtuanya juga sahabatnya. Yang membuatnya terluka sangat adalah ketika gadis itu menyerah dan lebih memilih menerima laki-laki lain. Teman Nara juga.”
“Begitu?” Dia mengangguk-angguk.
“Iya. Keadaannya sangat kacau kali ini. Tepatnya saat dia menemukan surat gugatan cerai itu. Apa aku egois namanya kalau aku bersikeras meninggalkannya? Aku nggak punya perasaan? Apa aku harus memberinya kesempatan?
Jujur, ini yang membuatku menjadi ragu. Perasaanku jauh lebih besar. Aku nggak bisa membenci apapun yang telah dia lakukan.”
“Tapi yang kamu lupakan adalah apa harus menunggu mendapat pukulan telak dulu sehingga mereka menyadari keberadaanmu? Jika kamu bertahan, apa ada jaminan mereka akan membiarkan Nara lebih banyak menghabiskan waktunya bersamamu?”

KAMU SEDANG MEMBACA
BREAKEVEN [New Vers] Sudah Terbit√√
Random[sudah terbit di webcomics-BBM. Tersedia versi cetak di LokaMedia/Chocobooks] Aku hanya ingin menyampaikan pesan dari seorang wanita karier yang tidak biasa dengan segala tetek-bengek urusan rumah tangga. Ketahuilah, apa wanita mandiri dan bebas, ti...