Aku merasakan langkah kaki ini sedikit sempoyongan. Seluruh tubuh seperti jelly. Sama sekali aku tidak pernah mengira kalau aku akan segila ini, memakinya seperti orang kesurupan. Aku tidak bisa lagi mengendalikan diriku. Ada sedikit sesal ketika aku menyerah diperbudak emosi.
“Sudah selesai?” tanya Davis menyambut kedatanganku.
Aku hanya terdiam duduk kemudian menangkupkan kedua tangan di wajah. Aku membiarkan diriku menangis sejadi-jadinya. Bahkan orang bilang ini jenis tangisan meraung-raung. Sesekali aku sampai tersedak oleh tangisanku sendiri.
“Dia menyakitimu?” tanya Davis seraya mengusap kepalaku.
Aku hanya memberinya gelengan kepala. Lalu mengangkat wajahku, membiarkan Davis melihat wajah kacauku.
“Ini salahku,” ucapku patah-patah.
“Hei, kamu hanya sedang kacau. Lebih baik aku antar kamu pulang. Saat kamu merasa lebih baik nanti, kamu ceritakan sama aku.”
“Aku nggak mau pulang!” tolakku mentah-mentah.
“Kenapa?” tanyanya terkejut.
Sekali lagi aku menggelengkan kepala. Masih dalam tangisanku, aku melihat samar Davis mengalah untuk bertanya. Dia menstarter mobilnya, melajukannya meninggalkan pelataran parkir kedai itu.
“Oke. Kalau kamu mau, kamu bisa istirahat di apartemenku.”
Aku menggeleng. Dia mengedikkan bahunya.
“Baik. Atau kita cari hotel dekat sini? Aku akan antar kamu ke sana. Mungkin kamu bisa ceritakan nanti,” ucapnya memberikan alternatif.
“Aku…merasa aku,” ini sulit untuk kuucapkan. Tangis itu kembali datang, “I just wanna stop. Aku nggak punya alasan untuk bertahan. Aku hanya menyesal. Seharusnya aku nggak berteriak di hadapan teman-temannya. Aku wanita yang memiliki attitude cukup baik kan?”
“Ssh. Jangan pernah menyesali. Kamu tahu? Kucing yang menggemaskan pun pasti akan mencakar jika sudah melewati batasannya. Kamu hanya sedang berada di titik itu. Terkadang seseorang perlu diberi satu pukulan agar tahu dimana batasnya.”
Aku menarik napasku dalam-dalam, mengerjabkan mata. Lalu mengusap wajahku sebelum tersenyum tipis pada pria di sampingku. Entah, yang keluar malah tawa kecil. Mungkin aku mulai mengidap gangguan kejiwaan.
“Hei, ada yang lucu?” Dia mengernyit.
Aku menggeleng. Menarik napas dalam-dalam. Setidaknya sekarang aku tidak sekacau tadi.
“Tapi aku perlu untuk pulang. Menyiapkan dokumen surat gugatan cerai. Aku akan mengakhiri ini. Nggak peduli pernikahanku masih sangat baru.”
Dia melebarkan matanya. Cukup terkejut dengan apa yang kukatakan baru saja.
“Ichlal, ini nggak bagus. Mengambil keputusan secara sepihak apalagi saat kamu emosi seperti ini. Yang aku takutkan ini akan menjadi penyesalanmu nanti. Ingat saat kamu berdua berjanji di hadapan Tuhan.
Ini bukan sekedar kamu mengucap sumpah. Bukan. Tapi bagaimana kamu berdua memperjuangkan agar orang-orang memberikan jalan agar kalian bisa bersama. Itu bukan perjuangan kecil.”
“Aku sudah memikirkan ini sebulan belakangan. Saat aku mulai merasa ini lebih dari cukup kupendam. Dia nggak pernah bisa melihat aku dalam posisi tertinggi di hidupnya. Mungkin ini memang salahku karena aku terlalu menuntut, berharap lebih.
Kamu tahu? Saat dunia menentangmu, kamu berusaha untuk tetap berdiri. Dan saat dunia merendahkanmu, apa kamu tetap akan membiarkan itu terjadi? Aku memutuskan untuk pergi. Mereka boleh menentangku. Tapi tidak dengan merendahkanku atau tidak menghargaiku. Ibuku, yang berjuang mati-matian membesarkanku. Aku hanya akan seperti orang tolol jika membiarkan hasil perjuangan didikan ibuku direndahkan begitu saja. Sementara di luar sana masih banyak yang bersedia memandangku, menghargai keberadaanku tanpa harus kuminta. Jadi kuputuskan, mengapa aku harus bertahan?”
![](https://img.wattpad.com/cover/91776225-288-k506423.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAKEVEN [New Vers] Sudah Terbit√√
De Todo[sudah terbit di webcomics-BBM. Tersedia versi cetak di LokaMedia/Chocobooks] Aku hanya ingin menyampaikan pesan dari seorang wanita karier yang tidak biasa dengan segala tetek-bengek urusan rumah tangga. Ketahuilah, apa wanita mandiri dan bebas, ti...