Ketika Belahan Jiwa Menyusul Papa

93 29 19
                                    

Siapa yang mampu menebak sepenggal kisah yang akan terjadi esok hari? setelah berbulan-bulan aku melalui hidup begitu tenang, kini kenyataan telah kembali menghadirkan derita ditengah-tengah ketenanganku itu. Rian yang selama ini kuanggap sebagai belahan jiwa sekaligus pengganti papa menderita penyakit yang sama dengan penyakit yang telah merenggut papa sebelumnya. 26 oktober 2016 aku harus menerima kenyataan bahwa Rian positive mengidap kangker otak yang disebabkan oleh kecelakaan yang sebelumnya ia alami.

Pagi itu aku mendapat telfon yang tak lain berasal dari Mama Rian. “Halo? Riwa?” Sahut tante ketika aku telah menjawab panggilannya.

“Iya tante, kenapa?”

“Riwa bisa ke Jakarta ?”

“Ngapain tante ?”

Lalu secara perlahan tante berkata “Rian telah divonis mengidap kanker otak !”

Rasa tak percaya menyelimuti pikiranku saat itu “jangan bercanda tante, Rian engga mungkin menderita penyakit itu”

“Akhir-akhir ini Rian selalu merasa sakit kepala, tapi kami pikir itu hanya sekedar penyakit biasa hingga tadi Rian pingsan di sekolah barulah penyakitnya terungkap” jelas tante.

“Lalu Rian sekarang dimana?” tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

“Rian ada di rumah, dia menolak untuk mendapatkan perawatan medis. Makanya tante menyuruhmu ke sini, tante sangat cemas Riwa!”

“Riwa akan kesana sekarang juga” kataku yang lansung mengakhiri panggilan.

Saat itu aku telah berjanji untuk menjadi wanita yang kuat dan aku tak akan mengulangi kesalahanku dulu seperti meninggalkan papa ditengah-tengah penyakit yang menggerogoti tubuhnya, aku akan merawat Rian hingga dia kembali seperti sedia kala. Demi Rian waktu itu aku rela meninggalkan sekolahku untuk sementara. bukan hanya sekolah, aku juga meninggalkan Mama tersayang seorang diri.

“Pergilah nak, bantu Rian untuk sehat kembali” kata Mama ketika aku berpamitan untuk ke Jakarta.

“Mama harus tetap sehat yah.. mungkin Riwa tak akan bisa lanjutkan hidup lagi jika Mama kenapa-kenapa” kataku sambil memeluk Mama.

“Jika itu permintaann Riwa, Mama akan lakukan. Sebaiknya Riwa pergi sekarang karena pasti Rian udah nungguin Riwa” lalu Mama melepas pelukanku.

Jawaban Mama saat itu membuatku sedikit lebih tenang, paling tidak kekhawatiranku terhadap Mama saat aku meninggalkan Villa agak berkurang. Tanpa membuang-buang waktu lagi aku segera berangkat ke Jakarta, tak pernah sedetikpun pikiranku berpaling dari Rian yang jelas aku tak mampu membayangkan bagaimana hidupku tanpa Rian yang selalu memberiku motivasi.

****

“Tok... tok.. tok...” ku ketuk pintu ketika aku telah tiba di rumah Rian.

Setelah kak Rama membukakan pintu, aku melangkah perlahan tak bersuara menuju kamar Rian. Hati ini terasa sakit begitu aku melihat sosok orang yang aku cintai duduk di atas kursi roda dan tak berdaya, saat itu Rian sedang membelakangiku hingga ia tidak menyadari keberadaanku, ingin rasanya aku berteriak dan menangis di hadapan Rian namun aku menahan semuanya agar aku dapat menjaga perasaannya, jika Rian melihatku menangis maka dia akan berpura-pura baik-baik saja di hadapanku dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.

Dengan raut wajah bahagia aku menyapa Rian “Rian...!”

Lalu secara perlahan Rian berbalik arah “Riwa? kenapa Riwa ada di sini” kata Rian dengan wajah pucat yang agak terkejut melihatku.

“Kenapa yah... karena Riwa kangen sama Rian” jawabku sambil bermanis manja.

“Riwa udah tau semuanya? Siapa yang kasi tau?” tanya Rian dengan serius.

Sepenggal Kisah Riwa di Langit 2016Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang