dua

23 2 1
                                    

Aku pikir, aku akan terbangun di ruangan serba putih, dengan alat bantu bernafas, berbagai macam selang di badan, seorang dokter, serta seorang suster yang sedang mencatat apa yang di katakan oleh si dokter.

Ternyata, tidak. Jauh sekali ekspetasiku. Ini bukan di rumah sakit, atau di pinggir jalan. Ini sebuah rumah sederhana. Dengan atap berwarna cokelat kusam, dengan udara yang minim. Disini tidak terdapat seorang suster, apalagi dokter. Disini hanya ada lelaki preman tadi, yang menolongku dengan posisi tubuh memunggungiku.

Aku mengamatinya dari atas sampai bawah, lelaki ini benarkah seorang preman? Penampilannya mengatakan iya. Tapi perilakunya tidak. Ia memutarkan tubuhnya 180 derajat, hingga akhirnya menatap ke arahku dengan senyum tipis, dan segelas teh panas.

Teh. Sean. Sean sangat suka teh. Dia suka bau teh, warna teh, rasa teh. Semua yang berbau teh pasti dia suka. Berbeda dari kebanyakan lelaki, Sean sangat anti pada kopi. Dia tidak suka kopi. Membuat kepalanya pusing, katanya. Dia tidak suka apa pun yang berbau kopi. Warna kopi, rasa kopi, bau kopi. Apa pun. Dia tidak suka.

"Kalau orang ngomong tuh di dengerin! Bukannya ngelamun ga jelas." Kata si lelaki ini yang berhasil menyadarkanku.

Aku hanya diam, menatapnya, dan berkata, "apa?"

"Astaga. Lo tuli? Hah? Gua tanya sekali lagi. Lo tadi ngapain di tengah jalan kayak tadi?" Katanya, mengulang pertanyaannya yang tidak aku dengar.

"Tadi.. Aku ingin pergi ke cafe.." Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Lalu kembali menjerit, "Gerald!" Aku melirik jam tanganku, jam 11.00am.

"Aku harus pergi. Sekarang. Terimakasih." Kataku lalu bangkit dari tempat tidur.

"Gak. Lo harus tetep disini. Kasih penjelasan. Setelah itu baru lo boleh pergi."

"Aku harus menemui temanku. Di cafe Voila. Sudah? Terimakasih." Kakiku sudah mulai melangkah pergi, tapi ada sesuatu yang menarik kembali tanganku.

"Trus, kenapa tadi lo pingsan?" Tuhan! Lelaki ini banyak omong sekali.

"Shock." Lelaki ini mengangguk mengerti.

"Minum dulu teh lo. Baru pergi." Aku mengambil segelas teh hangat di tangannya. Sean. Satu nama itu kembali muncul di kepalaku. Tidak. Aku harus menemui Gerald.

"Terimakasih?" Kataku dengan nada bertanya.

"Oslo."

"Terimakasih Oslo." Kataku setelah lelaki ini memberitahukan namanya.

"Nama?"

"Lettisha."

"Sama-sama lett."

"Aku harus pergi."

"Hati-hati." Aku hanya mengangguk dan berjalan cepat ke caffe yang di tujukan oleh Gerald.

Untung saja, jarak antara rumah Oslo dan cafe Voila tidak jauh. Aku hanya membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke cafe tersebut.

Pintu kaca sudah terbuka saat aku memasuki cafe ini. Cafe ini memang membayar seseorang untuk membuka-menutup pintu saat ada pengunjung yang datang dan pergi. Seorang lelaki yang membukakannya. Aku tahu dia, tapi lupa dengan namanya.

"Selamat datang di cafe Voila, Lettisha." Katanya saat langkah pertamaku di caffe ini dengan senyum yang sangat lebar, tapi aku tidak perduli. Aku hanya mengangguk, tanpa tersenyum dan langsung mencari Gerald.

Disana, di pojok ruangan, dengan segelas kopi susu yang mulai mendingin. Aku langsung menaruh bokongku di bangku yang tersedia. Dihadapannya. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya memperhatikanku sampai akhirnya, aku yang memecahkan keheningan.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang