Prologue of the story :)Enjoy reading guys
I hope you like it ;)
And don't forget to follow me :)
••••••••••••••••••••••••••••
Ada kalanya ketika air mata tidak mampu untuk mengobati kepedihan yang dirasakan oleh hati dan jiwa. Seperti sekarang, ketika semua kehidupanku berubah yang awalnya hanya biasa saja berubah menjadi kehancuran. Semuanya berubah mulai hari itu.
-------------
Los Angeles, California
6 months ago
Tuesday, 18:00 P.M.
"kamu tahu apa yang paling aku inginkan di dunia ini Monica?" tanyaku sambil menatap langit yang mulai berubah warna dari biru menjadi orange. Monica hanya bergumam pelan menandakan kalau dia mendengar pertanyaanku. Aku memejamkan mata sebentar dan kembali membukanya, "aku ingin hidup bebas seperti burung. Bisa terbang kemanapun yang aku inginkan dengan sesuka hati" ujarku sambil tersenyum kecil.
"tapi terkadang kamu melupakan satu hal Isandra" aku menoleh mendengar pernyataan adikku Monica. Adik kesayanganku yang hanya berbeda dua tahun dibawahku. Aku hanya mengangkat alis, tidak mengerti apa yang dia ucapkan. "terkadang kamu melupakan betapa burung itu sangat indah hingga banyak orang rela mendapatkannya dan mengurungnya di sangkar. Ketika dia berada di sangkar, dia tidak mampu terbang bebas dan semua mimpi juga harapan burung itu hilang tidak berbekas" Monica berhenti dan menatapku sedih. "tidak semua dari mereka bisa hidup bebas Is, lalu ketika mereka menyerah, mereka mengharapkan kematian menjadi satu-satunya jalan bagi kebebasan mereka"
Aku menahan napas mendengar penjelasan adikku. Aku merasa perkataannya begitu mengenai hatiku. apakah yang dia katakan adalah benar? Aku selalu merasa iri kepada burung yang selalu berterbangan dan berkicau di pagi hari dengan begitu riang.
Aku ingin merasakan kehidupan seperti itu, tapi aku tidak bisa. Begitupun Monica. Kami berdua tidak pernah merasakan yang namanya kebebasan. Kami tidak pernah merasakan yang namanya sekolah, berteman, pesta, atau berhubungan dengan gadis seumuran kami.
Ketika aku berada di jenjang yang paling tinggi, yaitu Universitas. Aku tetap tidak pernah merasakan kebebasan. Aku hanya menampakkan wajahku ketika ada jadwal, setelah itu aku langsung pulang.
aku tidak pernah mendapatkan teman dan aku ingin sekali mendapatkan seorang teman bahkan sahabat, tapi dad tidak pernah mengijinkanku. Ketika aku lulus pun dad tidak memberikan kebebasan bagiku. Aku iri kepada kakak laki-lakiku, Jaxon yang bisa merasakan dunia. Selama 22 tahun hidupku. Aku tidak pernah merasakan secuilpun kebebasan.
"kamu tahu Is? Kenyataan memang pahit. Kita harus menerimanya walaupun itu berat" Monica terus berkata, tapi aku sama sekali tidak mendengarkannya. Teman satu-satunya bagitu hanya Monica. Mungkin karena kami senasib atau karena hanya Monica satu-satunya interaksi di rumah ini. aku tidak tahu. Dad selalu bekerja begitupun Jaxon. Mom sudah meninggal lima tahun yang lalu karena kecelakaan mobil. Kecelakaan itu begitu parah hingga nyawa mom tidak bisa diselamatkan. Disitulah semua berubah.
Awalnya dad masih memperbolehkanku pergi keluar sesekali ke taman, tapi semenjak kematian mom kesempatanku untuk merasakan dunia luar pupus. Mataku mulai terasa panas. Aku sangat rindu kepada mom dan aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku kembali mengingat senyum mom yang selalu menenangkan dan suaranya yang lembut ketika aku mengeluhkan sesuatu padanya. Lalu Sikap dad yang protektif membuat kehidupanku hampa. Pikiranku terbuyarkan ketika pintu diketuk tiga kali.
Monica meneriakkan sesuatu dan pintu mulai terbuka. Pelayan berjalan masuk dan membungkuk pelan. "ada apa?" Tanya Monica.
"Mr. James ingin kalian berdua menemuinya diruang kerjanya sekarang" aku hanya mengangguk mengiyakan dan pelayan tersebut berjalan keluar.
"apa yang diinginkan dad sekarang?" Tanya Monica dengan nada kesal. Monica memang tidak menyukai dad karena apa yang dia lakukan. Menurutnya sikap dad berlebihan dengan mengurung kami berdua di dalam rumah yang besar dan sepi.
"sudahlah ... tidak perlu dipikirkan. Kita temui dia sekarang sebelum dia marah" Monica hanya menggerutu sambil berjalan dibelakangku. Saat kami berdua tiba, aku menarik napas pelan dan mengetuk pintu tiga kali. Aku mendengar suara dad berkata 'masuk' lalu aku menoleh kearah Monica sebentar dan meraih gagang pintu. Aku memutarnya perlahan dan berjalan memasuki ruangan. Saat aku mengangkat kepalaku, mataku bertemu dengan sepasang mata biru yang dingin.
Dan aku tersadar, kehidupanku kembali berubah hari itu.
----------
Aku menarik napas sambil mencengkeram pagar pembatas balkon dengan kencang. Aku juga tidak sadar kalau air mataku menetes mengingat kejadian itu. aku baru tersadar kalau air mataku mengalir ketika aku merasakan sesuatu mengalir di pipiku.
Aku langsung menghapusnya dan kembali menarik napas. Berusaha mengatur perasaanku yang bergejolak di hati.
"sedang apa kamu berdiri disitu?" aku tersentak kaget mendengar suara pria yang sangat aku kenali. Aku menoleh dan menatap mata biru itu.
"aku hanya sedang menghirup udara segar Nathan" Nathan hanya menatapku dengan pandangan datar lalu mengangguk sekali. Setelah itu dia berbalik dan berjalan pergi. aku langsung membuang napas yang tidak sadar aku tahan saat melihat Nathan. Aku mengangkat kedua tanganku dan melihat bagian pergelangannya yang mulai membiru karena bengkak.
Nathan.
Pria yang dikenalkan dad hari itu. mata biru yang menatapku dengan intens. anak dari salah satu rekan bisnis dad yang berasal dari Italia. aku sadar kalau dia bukanlah pria baik-baik.
Monica juga mengatakan hal yang sama. Saat Nathan pergi, baik aku maupun Monica mengutarakan pendapat kami mengenai Nathan, tapi dad tidak menggubrisnya sama sekali dan menganggap pendapat kami hanya sebagai bentuk perlawanan.
Walaupun begitu, kenyataan tidak mampu diubah. Dia adalah calon suamiku. Dia adalah tunanganku.
Dia adalah mimpi burukku.
***
Gimana prologue untuk His Secret? Hmm ..
Jangan lupa vote, comment dan share ya :)
See you next time
DyahUtamixx
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secret ✔ [Karyakarsa]
RomanceTERSEDIA DI APLIKASI KARYAKARSA. "Every man has his secret sorrows which the world knows not; and often times we call a man cold when he is only sad." ― Henry Wadsworth Longfellow ------------------------------------------------------- for mature r...