Three

80.8K 1.3K 3
                                    

'Mencintai angin harus menjadi siut...
Mencintai air harus menjadi ricik...
Mencintai gunung harus menjadi terjal...
Mencintai api harus menjadi jilat...
Mencintai cakrawala harus menebas jarak...
Mencintai Mu harus menjadi aku'
-Sapardi Djoko Damono-

"Terimakasih untuk apa? Untuk yang tadi malam? Atau untuk yang lainnya?" bisik Aryan sambil tersenyum menggoda.

Pipi Nasha memerah. Ia malu mendengar ucapan Aryan. Namun Nasha berusaha menormalkan dirinya. Ia berdehem sebelum akhirnya berkata, "Terimakasih untuk pakaiannya Tuan. Dan saya harap ini pertemuan pertama dan terakhir kita." desis Nasha di kalimat terakhirnya.

Aryan tersenyum miring mendengar kalimat-kalimat Nasha. Ia menarik tangan Nasha dan cup, ia mencium lembut bibir Nasha. Nasha terkejut. Ia membelalakkan matanya dan berusaha menjauhkan dirinya dari Aryan. Untung saja parkiran sepi karena ini pagi hari. Kalau malam pasti banyak orang berlalu lalang.

Aryan melepaskan bibirnya dari bibir Nasha. "Morning kiss ku yang tertunda sayang." Aryan melepaskan tangan Nasha. Langsung saja Nasha melangkah menjauhi Aryan sebelum Aryan melakukan hal yang membuat ia malu.

Namun baru satu langkah Nasha beranjak, Aryan bersuara dan berhasil membuat Nasha terpaku sejenak.

"Dan sepertinya keinginan mu tidak akan terwujud karena aku akan muncul di kehidupan mu."

Nasha meneruskan langkahnya yang sempt berhenti karena ucapan Aryan yang menurut Nasha terdengar mengerikan.

Senyum miring tercetak jelas di wajah tampan Aryan.

***

"Lo utang penjelasan sama gue Nasha." suara Hendin menyambut kepulangan Nasha di apartemennya.

Nasha tak menggubris kata-kata Hendin dan langsung berjalan ke arah kamarnya.

"Hei Anasha Hanif Santoso, kau tak bisa berbuat seenakmu sendiri." teriak Hendin frustasi.

"Kau pergi denganku dan menghilang tiba-tiba. Dan kau pulang dengan baju yang berbeda. Kau tak melakukan hal yang aneh-aneh bukan?" lanjut Hendin.

Nasha membuka pintu kamarnya dan menghampiri Hendin yang masih berada di sofa.

"Udahlah, biasanya juga nggak ada yang peduli sama gue kan? Tadi malem gue seneng-seneng jadi nggak usah di bahas lagi. Oke?" Nasha menyandarkan punggungnya di bahu sofa.

"Lo nggak ke restoran?" tanya Nasha.

"Males gue. Lagian kan udah ada yang handle juga. Lo sendiri nggak pergi ke butik?" Hendin bertanya balik.

"Nanti lah agak siangan. Lagian Lenny nggak ngabarin kalo ada hal yang penting juga." jawab Nasha acuh sambil memejamkan matanya dan memijat pelan pelipisnya.

"Lo kenapa? Pusing?" tanya Hendin yang sudah duduk menghadap Nasha dan memperhatikan tingkah Nasha.

"Lo pasti banyak minum kan tadi malem?" Hendin sedang dalam mode detektif.

Nasha hanya mengangguk sebgai jawabannya.

"Lo tuh nggak pernah berubah ya. Kalo ada masalah aja larinya ke minum. Lo tuh udah dewasa Sha. Harusnya lo tuh bisa nyelesaiin masalah lo dengan bicara baik-baik. Mereka itu peduli sama lo. Tadi malem aja pas gue tanya lo pulang ke rumah apa nggak mereka jadi khawatir gara-gara lo." Hendin sudah seperti Mamanya dengan kalimat panjangnya dan nasihat-nasihatnya. Nasha sangat bersyukur karena mempunyai sahabat seperti Hendin.

"Oke oke. Gue bakal coba bicarain sama Papa sama Mama." Nasha akhirnya menyerah.

"Nah gitu dong. Itu baru namanya sahabat gue." Hendin merangkul Nasha dan tersenyum lebar.

(18+) With You [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang