04| Surprise Supper

37 1 0
                                    


Aku menutup pintu belakang mobil dengan hati-hati, berusaha tidak membangunkan Niilo yang terlelap di bahuku. Dengan satu tangan yang bebas, aku meraih plastik belanjaan di tangan Äiti namun perempuan itu menolaknya. Satu telunjuknya menunjuk Niilo yang terlelap, sepasang matanya mengerjap.

"Kamu bawa masuk Niilo, aja, Kalle," katanya dalam bisikan. Aku menurut.

Jukka membuka pintu dan aku langsung menemukan beberapa pasang sepatu memenuhi teras dalam. Sebelumnya Jukka memang sempat bilang ingin mengundang beberapa kenalan untuk pesta pancake di halaman belakang. Itulah kenapa akhirnya Äiti menyeretku untuk menemaninya ke Heinola, berbelanja barang dekorasi untuk acara sekolah bulan oktober nanti.

Sudah hampir setengah tahun sejak kejadian itu, perlahan-pahan Äiti mulai menyibukkan diri. Dengan begitu, kuharap luka hatinya dapat sembuh lebih cepat. Kesibukkan akan membuatnya lupa pada kejadian yang menimpa Laura. Semua cuma soal waktu.

"Belum pada pulang?" tanyaku pada Jukka sambil melemparkan sepasang sepatu Niilo ke hamparan sepatu-sepatu asing tersebut.

Ia mengangguk, "itu udah pada siap-siap mau pulang. Kaisa mana?" tanyanya dengan mata sibuk mencari.

Aku menjawab pertanyaannya dengan dagu, membimbing arah matanya ke garasi. Seketika matanya membelalak, "dasar anak durhaka, bisa-bisanya ngebiarin Kaisa bawa belanjaan segitu banyak," gerutunya sambil melesat menuju garasi.

Aku menatap punggungnya sambil menahan kesal. Dasar orang gila! Enggak liat apa ini darah dagingnya sendiri lagi digendong siapa. Dasar tua bangka!

Lima orang pria berpapasan denganku di jalur eteinen. Salah seorang yang kelihatannya dari cina membungkukan badannya sedikit saat melihatku.

"Terve," sapaku pada mereka sebelum masuk ke kamar Niilo. Berusaha tidak kelihatan kurang ajar sementara salah satu dari mereka sudah sampai membungkukkan badan segala. Mereka membalas terve dengan kompak. Seorang laki-laki cukup pendek berwajah timur tengah bertanya Jukka ada di mana, mereka kebingungan karena tuan rumah mereka tiba-tiba menghilang.

Aku baru akan membuka mulut tentang keberadaan Jukka saat akhirnya pria itu muncul di depan pintu bersama Kaisa. Kelima lelaki itu pun berpamitan pulang, cepat-cepat aku masuk ke kamar Niilo hendak membaringkan adik kecilku itu di tempat tidurnya.

"Ahhh!" aku mengerang sembari merenggangkan badan. Menemani perempuan berbelanja seharian itu betul-betul melelahkan. Rasanya aku ingin cepat-cepat menyegarkan diri di sauna, lalu makan dan langsung tidur. Pikiran soal sauna mendadak membuatku bersemangat. Buru-buru aku meninggalkan kamar Niilo dan menutup pintu saat kulihat sosok Äiti berjalan ke arahku.

"Yah, baru mau bilang, harusnya Niilo dibaringin di sofa aja, Kalle," katanya lembut. Sepasang matanya yang seperti batu safir menatapku teduh.

Kutatap Äiti dengan alis bertaut, bingung.

"Niilo kalo tidur di kamar bisa susah banguninnya. Kita kan belum iltapala, yang ada nanti tengah malem dia rewel karena laper. Waktu dinner juga dia cuma makan kentang goreng, kan burgernya kamu yang abisin," terang Äiti agak menyindir di bagian akhir.

"Ih, Äiti kok nyindir?" sungutku pura-pura terluka sambil mengangkat Niilo. Äiti tersenyum lebar.

Kulangkahkan kakiku menuju ruang tv sesuai perintah Äiti. Beanbag cokelat yang biasanya ada di kamar Niilo telah berpindah ke depan perapian, nyala api di dalamnya hampir padam.

Yang paling aneh adalah, seorang perempuan diam-diam menggeletak disana. Penasaran, aku melangkah mendekati objek asing tersebut dengan masih mendekap Niilo. Sedetik kemudian aku langsung mengenali perempuan itu. Rambut hitamnya menyatu dengan cover beanbag sementara kedua lengannya memeluk sebuah buku cokelat yang ia dekap di atas perut. Bahkan dengan dua kelopak mata menutup yang menyembunyikan sepasang mata ambernya, perempuan ini masih saja mempesona.

Winter Sun (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang