Direct Shoot

15 2 0
                                    

20 10 2010
Tanggal indah, deretan angka yang sempurna untuk sebuah momen.
Namun yang sering jadi pertanyaan, apa artinya deretan indah angka-angka, jika pada akhirnya berujung luka.
------------------------------------------------------

*Di sebuah kelas XI IPS*

Tangan dan kaki Refan bergetar layaknya orang yang sedang kedinginan. Jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Kali ini Refan benar-benar gugup, ia sedang berhadapan dengan gadis yang sudah bertahun-tahun di taksirnya.

Refan tidak bisa melarikan diri dari situasinya saat itu, ia dan gadis pujaannya itu tengah dikelilingi teman sekelasnya.

"Buruan Fan, tembak aja, keburu Pak Amin masuk" kata salah satu teman yang ikut menyaksikan momen canggung itu.

"Iya Fan, cepetan" sahut lainnya.

Cewek di hadapan Refan saat itu adalah Franda. Cewek tomboy nan manis, pujaan hati Refan sejak duduk di bangku kelas 7. Sudah 5 tahun Refan melabuhkan cintanya untuk sang cewek di seberang matanya itu.

Franda, cewek yang cukup poluler di sekolah sejak SMP dulu. Dia cewek yang easy going, sering temenan sama anak cowok, ga heran sih Franda anaknya emang tomboy, atlet tenis meja yang sering dapet juara mewakili sekolahnya. Tidak seperti cewek-cewek lain seusianya yang mulai mengenal alat-alat make up, Franda masih saja tampil dengan muka polos tak tersentuh oleh eyeshadow dan blush on. Franda memang tidak perlu itu, ia sudah manis tanpa make up. Itulah nilai lebihnya bagi Refan.

Sementara Refan adalah cowok pendek, kecil, berkulit gelap dengan gaya rambut berdiri. Fashionya pun cenderung standar. Meskipun ia jelas akan langsung tersingkir jika bersaing dengan Adipati Dolken, Refan cukup manis untuk beberapa cewek di sekolahnya. Ia memiliki otak yang lumayan bisa diandalkan

"Sttt... Kalian tenang dulu deh, Refan tambah gugup tuh" ujar Franda sambil tersenyum malu-malu di seberang Refan.

Cewek itu menyikapi situasi dengan lebih santai, tahu bahwa cowok di seberang sana akan menyampaikan perasaan padanya.

Refan masih diam dan gemetaran, berusaha menguasai dirinya dan menyiapkan kalimat untuk menumpahkan perasaan di tengah kerumunan teman-temannya.

"A.. aaa.." Refan mulai mengekuarkan suara dari mulutnya yang kaku sedari tadi.

"Nda, aku tahu ini bukan yang pertama kalinya aku ngungkapin ini sama kamu, aku suka sama kamu. Kamu mau jadi pacar aku?" Refan mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan yang standar untuk sebuah momen penembakan.

Dalam hati Refan mulai mempertanya kepada dirinya sendiri "apa kali ini bakalan nerima gue? apa dia mau jadi pacar cowok yang ga populer kayak gue ini? gue ini punya kelebihan apa? kok gue bisa-bisanya nembak dia di tepan teman-teman kayak gini?". Bermacam-macam pertanyaan yang merendahkan dirinya sendiri bermunculan di kepalanya.

Refan menatap mata Franda dalam-dalam. Cewek itu terdiam dan mengembangkan lengkungan kecil di bibirnya sambil melirik Doni di samping kanannya untuk meyakinkan hatinya sebelum ia menjawab pertanyaan Refan yang lebih berupa sebuah permintaan.

"Kita kan udah kenal lama Fan, dan lo juga ga sekali ini aja bilang perasaan lo ke gue" Franda mulai menyampaikan kalimat pengantarnya. Sementara Refan mulai berkeringat dingin di seberang sana. "Kita jalanin aja dulu" tutup Franda.

Sontak seisi kelas berubah riuh layaknya merayakan sebuah kemenangan di pertandingan final piala dunia. Refan pun tanpa sadar melancarkan pelukan ke segala penjuru teman yang ada di dekatnya kala itu.

"Weee bakalan dapet traktiran nih kita-kita" ujar Joni.

"PeJe PeJe" ujar Doni yang merupakan dalang di balik jadiannya Refan dan Franda kali ini.

UnhealtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang