Bagian Satu

100 11 4
                                    

1. Rasa itu masih ada

"Cel, gue suka sama Renata, salah nggak sih?" Ucapan dari Aldi awalnya hanya Marcel anggap sebagai sebuah candaan. Ia tidak mengira kalau Aldi benar-benar suka dengan Renata. Ia pikir, kemarin Aldi hanya asal ngomong. Tapi mendengar hari ini Aldi mengucapkan kalimat yang sama, Marcel menunjunkkan reaksi yang berbeda.

"Serius?" Tanya Marcel seolah memastikan. "Bisa demen cewek juga lo." Lanjutnya dengan nada remeh.

"Sialan lo!" Desis Aldi kemudian mereka tertawa sampai tawa Aldi lenyap ketika Renata masuk ke dalam kelas dengan tas yang menggantung di bahunya.

Marcel memperhatikan gelagat Aldi saat laki-laki itu memandang Renata. Cara Aldi memandangnya memang berbeda, seperti sarat akan sebuah perasaan. Dan Marcel baru mengetahui arti dari tatapan itu sekarang. Setelah Aldi memberitahunya tadi.

"Ngeliatinnya biasa aja kali," sindir Marcel. "Berasa kayak baru pertama kali jatuh cinta aja lo, geli gue lihatnya."

Di sampingnya Aldi hanya berdecak sebal sembari memutar bola matanya malas.

•••

Renata sedang merapihkan bukunya yang berserakan di meja saat Aldi menghampiri dirinya. Senyum Aldi mengembang ketika tanpa sengaja Renata menatap lelaki itu. Kini Aldi menempati kursi Aulia yang kebetulan kosong karena sahabatnya itu telah ngacir ke kantin bersama empat sahabatnya yang lain. Jadi tinggalah ia sendiri di dalam kelas bersama dua siswa; Aldi dan Marcel.

"Lo nggak kantin, Nat?"

Renata mendongakkan kepalanya spontan karena mendengar suara Aldi yang begitu dekat dengannya. Dan benar saja Aldi tengah menundukkan kepalanya sembari memperhatikan Renata yang tadi sedang menaruh buku di laci meja.

"Oh, enggak. Gue bawa bekal," jawab Renata sembari curi-curi pandang ke meja Aldi yang kini hanya Marcel yang menempati.

Aldi manggut-manggut. "Yaudah, gue sama Marcel ke kantin dulu ya. Duluan!"

Renata mengangguk kemudian dua lelaki itu berlalu meninggalkan kelas. Diam-diam Renata menyunggingkan senyum tipis saat memperhatikan punggung Marcel yang kian lama kian menjauh. Jantungnya masih saja berdegup kencang jika tanpa sengaja mereka bertatapan. Marcel masih sama dengan lelaki yang ia temui di Kafe sebulan yang lalu. Masih dengan tatapan tajamnya namun meneduhkan.

Awalnya Renata memang terkejut pada awal tahun pelajaran baru mengetahui dirinya satu kelas dengan lelaki yang ia temui di Kafe. Tapi tak bisa di pungkiri bahwa ia senang bukan main. Harapannya melambung tinggi saat itu juga. Tapi tiba-tiba ia harus terhempas oleh kenyataan bahwa Marcel tidak seperti yang ia pikirkan.

Marcel memang baik. Ia baik kepada semua orang. Tapi tidak dengan Renata. Entah mengapa Marcel selalu bersikap cuek dan acuh jika dengan Renata. Seakan lelaki itu membencinya. Padahal Renata tidak pernah merasa berbuat jahat kepada Marcel sehingga lelaki itu begitu terlihat tidak menyukai kehadirannya.

"Nata?"

"Renata!"

Renata terlonjak mendengar seruan di sampingnya. Saat menoleh, matanya menangkap kehadiran lima sahabatnya. Dan kini, Aulia tengah mengibaskan kelima jarinya tepat di depan wajah Renata.

"Eh?" Renata seperti orang linglung kali ini. Ia mengerjapkan matanya bingung. Agak kikuk juga mengetahui dirinya tertangkap basah tengah melamun oleh kelima sahabatnya. "Kenapa?" Tanyanya setelah kembali sepenuhnya sadar dengan keadaan sekitar.

"Kenapa?" Aulia balik bertanya. "Lo yang kenapa. Gue udah diri lima menit di sini tapi lo malah ngelamun. Ngelamunin apa sih?" Aulia menempati kursinya. Sedangkan Afifah dan Rizka duduk di kursi depan dan Naya dengan Rasma mengambil kursi lain untuk duduk di samping meja Renata dan Aulia.

Sebelum menjawab pertanyaan Aulia, Renata mengambil kotak bekal yang sebelumnya ia simpan di laci meja. Setelah kotak bekal itu berada di atas meja, barulah Renata menatap kelima temannya bergantian. "Gue lagi mikirin, tadi pagi kompor gue udah dimatiin belum, ya?"

Kelima sahabat itu memutar bola matanya. Menurut mereka itu adalah jawaban yang tidak masuk akal.

"Plis, ya, Nat. Jangan receh gitu, ah. Cukup Afifah aja yang receh, lo jangan."

Afifah melotot mendengar ucapan Naya. Memang anak itu, suka asal jeplak. Tapi ada benarnya juga, karena dari keenam sahabat itu, hanya Afifah yang kadang suka aneh dan membuat lelucon. Tidak jarang lelucon yang dibuatnya receh dan tidak lucu sama sekali.

"Receh kayak gopean," gumam Afifah.

"Berarti lo kayak gopean, udah kecil, suka ilang-ilangan. Nyusahin pula." Sambung Aulia.

"Ih, pedes banget omongan lo berdua!" Desis Afifah menatap Naya dan Aulia bergantian. "Kayak cabe pinggir jalan!" Lanjutnya kesal.

"Eh, kita kan tadi lagi nanyain Nata, tapi kenapa nyambungnya ke Afifah?" Rizka yang sedari tadi menyimak akhirnya angkat suara. Di samping Naya, Rasma mengangguk setuju dengan ucapan Rizka.

"Tau lo pada," timpal Rasma.

"Udah ah, mending makan. Nanti keburu bekal gue di makan bagong yang ada."

"Re…" Renata menggantungkan ucapannya.

"Ceh…." Sambung empat yang lain.

Di tempatnya, Afifah kembali memutar bola matanya sembari membuka tutup kotak bekal miliknya.

•••

"Sialan, ini makanan gue!" Desis Aldi sebal saat nasi kuningnya dimakan oleh Marcel. Padahal tadi Marcel sudah memakan bubur yang dipesannya sendiri. Tapi sehabis bubur itu ludes, Marcel merebut paksa nasi kuning milik Aldi.

"Gue laper, Ler." Sahut Marcel cuek.

"Laper pesen lagi sama Mpok, jangan ambil punya gue!"

"Bodo, ah. Ribet banget mulut lu, kayak cewek." Balas Marcel nyinyir.

Di sampingnya, Aldi hanya mendengus sebal dan buru-buru berdiri, mengambil ancang-ancang untuk kembali memesan makanan di warung Mpok yang berada di kantin paling barat, dekat dengan lapangan basket.

"Nitip gorengan, Di!"

"Nggak, beli sendiri!"

Marcel terkekeh geli kemudian kembali melahap nasi kuning milik Aldi yang kini telah menjadi miliknya. Tak lama, Aldi kembali dengan membawa nampan berisi seblak pedas buatan Mpok dan sepiring gorengan untuk Marcel. Aldi memang di kenal dengan kebaikannya terhadap teman sepermainan. Tidak pelit juga dengan uang dan apapun yang di milikinya, walaupun harus sedikit memaksa jika ingin sesuatu darinya.

"Widih! Di beliin beneran, padahal kan gue udah kenyang." Ucap Marcel sembari nyengir. Tak lupa tangannya mengusap perutnya yang sedikit membuncit karena telah menampung banyak makanan.

"Sialan!" Desis Aldi.

Marcel tertawa. Tapi tak ayal tangannya mencomot satu tahu goreng dan memakannya. Dengan keadaan mulut yang masih mengunyah tahu goreng, Marcel mengucapkan terima kasih dan Aldi balas dengan desisan geli akan sikap sahabatnya.

•••

Bagian satu kelar! Aye, entah kenapa gue suka banget nulis cerita ini wkwk. Idenya ngalir terus bor. Aduh, jadi enak wkwk.

Boleh minta pendapatnya? Atau dukungan suara? Bazeng bahasa gue wkwk. Vomment kalo nggak keberatan, ehe.

02-04-17.

RumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang