6. Siapa Nico?
Lelaki berambut hitam kecoklatan itu berjalan menunduk menuju ruang guru untuk memenuhi panggilan guru IPA di kelasnya. Tadi suara sang guru terdengar dari speaker yang kebetulan tertempel di depan kelas, memanggil nama Nico Saputra yang berasal dari kelas 12 IPA 3 untuk menuju ruang guru. Tanpa mau berlama-lama, Nico langsung mempercepat langkahnya menuju ruang guru.
Begitu membuka pintu, udara sejuk dari pendingin ruangan menerpa kulit wajahnya. Nico menunduk sekilas saat melewati beberapa meja guru sampai ia berhenti di depan meja dengan papan nama bertuliskan nama guru IPA di sekolah ini.
"Misi, Pak," sapa Nico pelan kemudian menyalimi tangan guru IPA tersebut.
"Eh, kamu," sahut guru itu mendongakkan kepalanya. "Bagaimana persiapan Olimpiade IPA untuk bulan depan? Udah mantap, belum?"
Nico tersenyum kecil sebelum menjelaskan kesiapan dirinya untuk mengikuti Olimpiade IPA bulan depan sebagai salah satu perwakilan sekolahnya. Memang bukan hanya dirinya yang menjadi perwakilan, ada juga Haris sahabatnya yang berasal dari kelas 12 IPA 1. Tapi entah kenapa hanya dirinya yang dipanggil ke ruang guru.
"Bagus-bagus. Nanti kalau saya ada tambahan materi, kamu jangan lupa ikut. Lumayan buat nambah materi walau kamu udah pernah pelajarin, seenggaknya kamu nggak lupa. Siapa tau soalnya nggak jauh beda sama materi yang saya jelaskan. Jangan lupa ajak Haris, sama yang ikut Olimpiade juga."
Nico mengangguk mantap kemudian berbalik setelah di izinkan keluar dari ruang guru. Lelaki itu tersenyum ramah membalas sapaan guru-guru yang mengenali dirinya. Ah, tidak. Hampir seluruh guru di sekolah sudah pasti tahu dirinya. Karena kepintarannya, Nico dikenal oleh guru-guru.
"Anjir," umpat Nico saat dirinya menabrak seseorang di depan pintu ruang guru. Lelaki itu mendongak dan mendapati wajah Haris yang tersenyum geli sembari menatapnya. "Ngapain lo senyum-senyum? Berasa om-om pedofil tau."
"Lo ngapain, Co?" Haris malah balik bertanya. Karena dirinya sudah jelas memegang tumpukan kertas ulangan Bahasa Indonesia milik murid sekelasnya.
"Gue dipanggil Pak Widi. Lah, lo sendiri ngapain emang?" Nico menjawab kemudian balik bertanya lagi.
Haris mengangkat tumpukan kertas di tangannya. "Nih, ulangan anak kelas gue."
"Oh," Nico manggut-manggut. Kemudian ia teringat akan pesan guru IPA-nya tadi untuk perwakilan murid yang mengikuti Olimpiade. "Oh iya, kata Pak Widi, nanti kalo dia ada tambahan materi kita di suruh ikut. Buat nambah-nambah materi Olimpiade gitu."
"Oke-oke, siap."
"Yaudah, gue duluan," Nico menepuk bahu Haris dua kali kemudian beranjak pergi meninggalkan ruang guru.
• • •
Nico menghempaskan bokongnya ke kursi. Suasana kelas saat dirinya datang adalah ramai tak terkendali karena tidak ada guru yang masuk untuk mengajar. Ia menoleh ke arah Nalen yang anteng-anteng saja walau mengetahui suasana kelas yang cukup berisik, sembari menggambar bus-bus yang sering ia temui kala pulang ke kampung halamannya.
"Len, ini kelas kayak pasar tapi lo bisa-bisanya anteng aja gini, sih?" Tanya Nico sengaja menyenggol lengan Nalen hingga pensil yang di pegang lelaki berhidung mancung itu membentuk sebuah garis lurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumit
Teen FictionSemuanya terlalu rumit untuk diceritakan. • Cover by @freakbutawesome• • Copyright©2017 by Shanan - Rumit•