Bagian Dua

71 10 0
                                    

2. Lirikan penuh makna.

Renata berdecak berkali-kali selama pelajaran matematika berlangsung. Berbagai macam rumus dan cara penyelesaiannya yang tertera di papan tulis terasa amat membingungkan. Semuanya tidak ada yang menyangkut di otaknya. Dirinya lemah soal hitung menghitung.

Jarak satu kursi di depannya, Afifah juga melakukan hal yang sama dengan Renata. Dari keenam gadis yang bersahabat sejak masuk ke dalam kelas yang sama itu, memang Renata dan Afifahlah yang paling lemah dalam pelajaran matematika. Kedua gadis itu tak jarang meminta bantuan Naya dan Aulia yang tingkat kepintarannya berada di level atas. Bahkan Rasma pun tak luput dari permintaan tolong Renata dan Afifah karena gadis itu juga terbilang pintar walau masih sering mengerjakan tugas rumah di sekolah.

Renata menusuk punggung Afifah dengan ujung pulpennya. Butuh lima kali tusukan sampai gadis berhidung minimalis yang kini tengah memakai kacamata itu menoleh.

"Napa?" Tanya Afifah tanpa suara.

"Lo ngerti?" Renata menjawab dengan sebuah pertanyaan juga.

Afifah menggeleng.

"Sama," ucap Renata lesu. "Yaudah, perhatiin lagi."

Afifah kembali menghadap depan. Yang dilakukan Renata setelahnya adalah menulis nama-nama personil boyband korea idolanya. Senyumnya mengembang saat menuliskan satu nama yang menjadi idolanya. Tulisan itu besar, hampir memenuhi satu halaman buku catatannya di paling belakang. Ia terus saja mencoret tanpa tahu bahwa guru matematika yang merangkap menjadi wali kelasnya itu tengah memperhatikan dirinya.

"Nat," bisik Aulia sembari menyikut perut Renata. "Bu Ningsih lihatin lo mulu, tuh! Berhenti coret-coret," lanjutnya masih dengan suara yang berbisik pelan.

Renata mendongakkan kepala dan matanya langsung bertubrukan dengan mata besar Bu Ningsih. Ia meringis saat melihat tatapan mata Bu Ningsih yang tajam seakan ingin menghunus sampai tembus ke balik punggungnya. Renata salah tingkah. Ia membalik halaman bukunya sampai dimana ia mencatat materi di papan tulis. Saat Bu Ningsih berjalan menghampiri mejanya, jantungnya berdegup kencang seiring dengan hentakkan demi hentakkan yang berasal dari heels yang dikenakan Bu Ningsih bergesekan dengan lantai kelas.

"Apa kamu mencatat materi yang Ibu tulis di depan?" Tanyanya dengan sorot tegas. Bibir kemerahannya membentuk garis lurus seakan menahan emosi.

Renata menyodorkan buku catatannya-yang beruntungnya ia telah menyelesaikan catatan materi di papan tulis. Ia mengangguk pelan sembari menjawab, "S-saya catat, Bu."

Bu Ningsih mengamati tiap-tiap goresan tinta di buku Renata. Kemudian guru berusia setengah baya itu mengangguk. "Ibu pikir kamu tidak mencatat, karena sedari tadi Ibu hanya melihat kamu mencoret-coret bagian belakang catatanmu."

Kemudian Bu Ningsih kembali melangkahkan kakinya ke depan kelas sembari mulutnya melontarkan kata demi kata yang kemudian membentuk sebuah kalimat untuk menjelaskan kembali materi yang ia tulis. Diam-diam Renata menghembuskan napas lega karena ia merasa beruntung tidak di tanya-tanya lebih lanjut, atau lebih buruknya lagi ia harus menyelesaikan soal yang di berikan Bu Ningsih. Renata tidak mau itu terjadi.

"Selamat lo," gumam Aulia tanpa mengalihkan pandangannya dari Bu Ningsih.

Renata mengangguk sembari tersenyum tipis. Hatinya berkali-kali mengucap syukur dan berkali-kali pula ia mengingatkan dirinya supaya tidak melakukan hal yang sama pada pelajaran Matematika. Beruntung Bu Ningsih tidak menuntut untuk di beri tahu apa yang Renata tulis di bagian belakang buku catatannya. Kalau sampai itu terjadi, entah apa yang akan Renata lakukan. Harus menyembunyikan wajahnya di laci meja, atau malah langsung mengurus surat kepindahan sekolahnya.

RumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang