Ikatan pertama

7 0 0
                                    

"Nafsu, ketergantungan, ilusi, terserah kau mau panggil apa. Ini cinta, dan itu fakta."
Ucap seorang pemuda dengan baju batik.

"Kamu gila."
Ucap seorang pemuda yang terlihat alim.

Keduanya berbincang pada meja suatu restoran cepat saji sembari sesekali menyantap kentang.

"Aku mencintainya! Dan aku akan melakukan apapun untuknya!"

"Kukira kau sudah menemukan jalan kebenaran. Ternyata kau masih gila."

Lelaki alim itu hendak pergi, namun lengannya digenggam oleh si baju batik.

"Aku butuh bantuanmu. Bukankah kau yang dapat penghargaan pengacara terbaik itu?"

"Pengacara bukan pembohong, setidaknya aku bukan pembohong."

"Tak perlu bohong! Cukup putar sedikit saja kalimatmu!"

Sang lelaki alim melempar tangan  yang menggenggamnya.

"Cintamu itu seorang pembunuh. Darahnya halal, sama dengamu. Coba sebutkan satu alasan aku harus membantumu."

"....Karena aku sahabatmu?"

Lelaki alim itu pergi.

Lelaki batik itu murung.

"Andai aku bisa melakukan segalanya."

"Anda bisa melakukan segalanya!"

Sang lelaki batik langsung melihat ke sumber suara.

Televisi, sebuah acara berita, sebuah wawancara. Seorang lelaki berkacamata dalam ruangan yang tertutup buku, di atap, di tembok, di lantai, ada buku menyelimuti ruangan.

"Saya menyukai kisah, dan tentu saja sudah menjadi roman seorang kutu-buku untuk melihat kisah-kisah fiksi dalam dunia nyata."

Lelaki itu menjentikan jari, dan terciptalah bola api.

Sepertinya sang pembawa kamera terkejut, tiba-tiba mundur, memperlihatkan tampak belakang seorang reporter cantik yang terpana memperhatikan bola api itu.

"Pena lebih kuat dari pedang, ilmu pengetahuan adalah kekuatan. Kalimat-kalimat itu secara ajaib menjadi harfiah di rumah ini."

Lelaki itu bertepuk tangan, mengubah bola api itu menjadi benda lain.

"Emas? Kekuatan? Pengetahuan? Semua ada dalam rumah ini, bila anda bisa mencarinya."

"Bila bisa?" Sang reporter akhirnya berbicara.

Sang lelaki kacamata berjalan menuju sebuah pintu di ruangan itu.

"Ini pintu masuknya. Semua orang boleh masuk."

Nada suaranya seakan mengungumkan suatu sayembara seperti dalam kisah-kisah zaman dahulu.

"Saya hanya minta tolong satu hal."

Sang reporter terlihat gugup, namun ia berani bertanya.

"Minta tolong apa, pak?"

Lelaki itu tersenyum.

"Tolong kubur saya sebelah ibu saya."

Lelaki itu menguap, menghilang.

Acara tv itu pun menghilang, diganti tulisan 'mohon maaf, sedang ada gangguan teknis' yang tak bisa dimaafkan.

Lelaki batik itu langsung menggenggam ponsel, membuka sumber informasi paling terpercaya yang pernah ada; internet.

Berbagai kicauan, blog tanggapan, hinaan, pujaan, banyak sampah yang hanya mengganggu. Tapi ia menemukan yang ia cari.

'Alamat seorang kutu buku.'

MLWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang