Chapter 4 - The Foreigners

531 12 10
                                    

Angin tornado berukuran luar biasa besar yang dibarengi oleh hujan lebat di permukaan akhirnya reda. Awan-awan kembali putih cerah, terkesan lembut persis seperti kapas. Tak ada lagi pusaran gelap aneh yang terbentuk di langit. Semua terlihat damai di atas sana. Tapi keadaan di sekitar tidak sedamai itu. Semua rumah roboh dan hancur berantakan. Hampir tidak meninggalkan satu pun benda yang terlihat masih dapat digunakan. Semuanya rata oleh tanah. Kayu-kayu berserakan, perabot yang berasal dari rumah-rumah di sekitar nyaris tidak lagi berbentuk dan saling bercampur dengan benda-benda lainnya. Tiang-tiang listrik dan lampu jalan roboh, beberapa bahkan mengalami patah dan bengkok yang terbentuk secara tidak wajar. Tidak ada manusia di sana.

“Kau yakin ini tempatnya?” kata seekor binatang melata dengan empat kaki yang terlihat kokoh dan tajam. Kulitnya kasar bersisik dan berwarna hijau kecoklatan. Matanya tersorot galak pada seekor anjing cokelat besar berbulu lebat. Wajahnya ramah. Terlihat sebuah kalung besi yang mengkilat menghiasi lehernya yang besar. Dia menjulurkan lidahnya yang berwarna pink dan menoleh menghadapi sumber suara.

“Aku tidak terlalu yakin, Max,” jawab anjing itu.

“Tidak ada orang di sini, Bruno, memangnya siapa sih yang kau cari?” tanya Max. Pandangan matanya menyusuri setiap bagian yang ada di depannya dengan teliti. “Aku tak merasakan hawa panas tubuh manusia.”

“Ya, aku percaya pada kemampuanmu itu, Max. Tak ada yang mengalahkan kepekaan seekor Iguana jika berhubungan dengan hawa panas,” kata Bruno kalem.

Max memberengut.

“Tapi aku bisa mencium bau, Max. Orang itu pasti tinggal di sekitar sini. Salah satu puing-puing bangunan yang ada di sini, pastilah milik orang itu. Penciumanku mengatakan demikian,” lanjut Bruno.

“Percayakan saja semuanya pada Bruno, Max. Lagipula dia kan pemimpin kita.”

Seekor tupai muncul dari balik tumpukkan papan kayu patah. Dia menggoyangkan bagian belakang tubuhnya untuk menyingkirkan serpihan-serpihan kayu yang menempel di bulunya yang lebat.

“Aku menemukan makanan,” lanjutnya, kemudian menelan habis biji kacang yang ada digenggamannya.

“Oh, Lizzy, kukira kau… tertinggal…” kata Max mengejek sambil memutar bola matanya.

“Enak saja. Begini-begini aku jauh lebih lincah dalam menghadapi terpaan angin itu. Kau lupa siapa yang menyelamatkanmu dari atas pohon? Like hell, aku tertinggal di belakang kalian?”

Max semakin memberengut.

“Sudahlah, jangan bertengkar,” kata Bruno sabar. “Hari sudah mulai sore, sebaiknya kita cepat bergerak. Semakin cepat kita menemukan orang itu, semakin baik kan?”

Bruno melangkahkan kakinya yang besar menyusuri jalan yang berantakan. Melangkahi benda-benda rusak di hadapannya sambil sesekali mengendusnya.

“Oh, ayolah, Bruno! Kita istirahat dulu yah?” kata Lizzy memohon. “Kita sudah berjalan jauh sekali, aku benar-benar lelah.”

Bruno memandang simpati pada Lizzy, kemudian mencari sesuatu yang mungkin berguna di sekitarnya. Dilihatnya sebuah papan besar bertuliskan “Welcome to Heavenland” yang jatuh bersandar pada sebuah benda rusak yang dikenalinya sebagai sebuah sofa.

“Baiklah, kurasa kita bisa beristirahat di sana, Lizz,” kata Bruno sambil berjalan menghampiri papan besar itu. Max dan Lizzy mengikutinya dalam diam.

***

Max dan Lizzy telah menemukan posisi paling nyaman di balik papan. Mereka merebahkan tubuhnya yang kaku. Max mencoba untuk memejamkan matanya dan berusaha untuk tidur, sedangkan Lizzy sedang sibuk menjilati ekornya yang besar seperti sebuah pentungan.

Pets Save the WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang