Payung Lipat

46 6 12
                                        


Hari pertama bulan Desember, hujan terlalu bersemangat mengguyur tubuhku. Sepulangnya dari sekolah, seragamku basah kuyup dan rambutku menjadi keriting mengembang menjengkelkan. Aku benci hujan yang merusak rambutku, tapi aku lebih benci lagi memakai payung lipat karena aku tidak bisa memakainya. Solusi yang tepat untuk masalahku adalah jas hujan. Ya, aku selalu menggunakan jas hujan walaupun berjala kaki, dan hari ini aku tidak bisa memakainya. Jas hujanku sobek beberapa hari yang lalu. Sebagai gantinya, ibu meminjamkan payung lipat miliknya. Oh, yang benar saja! Aku harap hujan tidak turun besok, dan besoknya, dan besoknya lagi sampai Desember habis.

Seperti yang sudah-sudah, harapanku tidak pernah terkabul dan aku selalu pulang dengan basah kuyup. Memasuki pertengahan bulan Desember, hujan turun lebih ganas dari pada sebelumnya. Hari ini, aku terjebak di halte bis depan sekolah karena tidak berani menerobos hujan. Jam menunjukan pukul 5 sore dan hujan masih belum mereda. Padahal sedari tadi perutku keroncongan minta diisi. Dengan petimbangan panjang, aku menyerah dan mencoba membuka payung lipat milik ibu. Kau tahu? Susahnya minta ampun! Sudah kudorong sampai ujung, tidak bisa. Dengan kekuatan besar pun masih tidak bisa. Ya Tuhan, aku ingin cepat pulang. Tiba-Tiba dari arah samping, seseorang mengambil payung yang kupegang. Perlahan tangannya terangkat, dan Blak! Payungku terbuka dengan sekali coba.

"Kok gampang?" Orang itu terheran sendiri. Aku menengadah, dan hanya bisa tertawa kaku karena kebodohanku.

"Boleh nebeng payung nggak? Kayaknya kita searah." Aku hanya mengangguk dan entah bagaimana, tiba-tiba aku sudah berjalan di bawah payung bersama orang asing yang memakai seragam yang sama sepertiku.

"Dhino." Tiba-tiba dia berbicara.

"Hah?" Aku menengadah lagi karena tidak paham.

"Namaku Dhino, kalau kau mau tahu." Dia menjawab sambil menunduk menatapku. Duh! Dia ini terlalu tinggi atau bagaimana sih?

"Oh, namaku Dina."

"Dhino Dina ya?" Kemudian dia terkikik sendiri dengan nama kami. Setelah percakapan singkat itu, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Kami berpisah di gang sempit dekat rumahku, dia berlari menerobos hujan dan menghilang di tikungan.

Setelah kejadian itu, setiap hujan turun kami selalu pulang bersama. Dhinolah yang selalu membukakan payung kemudian memegangnya untuku. Di bawah satu payung, kami berbicara banyak hal. Berkali-kali ketika topik pembicaraan kami habis, Dhino terkikik sendiri sambil bergumam "Dhino Dina." Aku sendiri masih tidak menyangka kami bisa seakrab itu ketika hujan turun.

Memasuki minggu terakhir Desember, hujan sesekali tidak muncul. Entah mengapa aku menjadi kecewa karenanya. Sepertinya, Dhino pun juga merasakan hal yang sama. Wajahnya sering murung akhir-akhir ini, tapi aku tidah berani menanyakannya. Terlebih, sekolah sudah usai, kami tidak memiliki alasan lagi untuk bertemu. Rasanya ada yang aneh.

"Besok udah mulai libur ya Na, ada acara ke mana?" Dhino menyenggol bahuku dengan tangannya yang memegang payung.

"Yah, paling-paling cuma menonton tv di rumah. Kamu?" Aku menanggapi sambil lalu. Kulihat Dhino tidak bereaksi, mukanya kembali keruh. Langkah kami berhenti di mulut gang, Dhino berlari menerobos hujan seperti biasa. Dia menghilang dibalik tikungan, namun kakiku masih tidak mau melangkah. Aku selalu menikmati punggungnya yang basah terkena hujan.

-000-

Ini adalah hari ketiga libur akhir tahun dan aku masih menyibukan diri mengganti saluran tv. Ibu yang gemas melihat perilaku anak gadisnya ini, menyuruhku pergi ke warung untuk membeli beberapa kebutuhan dapur. Aku sengaja pergi ke warung yang dekat dengan gang rumah Dhino, berharap berpapasan dengannya. Kali ini harapanku terkabul, walau hujan tidak datang tapi aku bertemu Dhino. Dia sedang berdiri menyandar di dinding gang ketika kuhampiri.

"Hai!"

"Hai Na! Akhirnya ketemu juga." Dhino terlihat sangat antusias, membuatku terheran-heran. Dia menyerahkan kotak kado warna biru yang panjang.

"Aku nggak lagi ulang tahun loh." Aku mencoba bercanda, tapi Dhino sepertinya tidak. Mukanya terlihat sangat serius, dan perasaanku menjadi tidak nyaman.

"Mulai sekarang, belajar buka payung sendiri ya. Desember masih terus datang. Semoga kita masih bisa satu payung lagi Na." Setelah berkata seperti itu , Dhino berpalik dan meninggalkanku begitu saja.

Setelah kejadian itu, Dhino tidak pernah muncul lagi. Kabarnya, dia pindah sekolah ke luar kota. Kado payung pemberian Dhino selalu kubawa kemana saja. Setiap tanggal 1 Desember, hujan setia mengguyur dan bayangan punggung basah Dhino selalu muncul di benakku. Berharap punggung itu akan berbalik, dan berteduh di payung yang sama denganku.

Menelisik KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang