Latte atau Vanila

38 3 2
                                        

Derasnya hujan bulan Desember memang tidak pernah mengecewakan. Buktinya sekeluarnya aku dari taxi, bajuku benar-benar basah kuyup. Payung lipat berwarna gelap yang terlambat membuka, tidak membantu sama sekali. Bahkan malah menambah susah, koper kecilku tetap basah. Setelah mandi air hangat dan kembali berpakaian, aku hanya sanggup duduk termenung di dalam kamar hotel. Oh ayolah! Aku baru saja duduk selama 2 jam di pesawat, meninggalkan ibu kota dari berbagai macam masalah yang ada, dan sekarang aku hanya duduk di kamar hotel sendirian menatap hujan? Aku butuh latte!

Sudahkah kukatakan bahwa sekarang aku ada di Kota Jogja? Baik, aku sekarang di Kota Jogja seorang diri dan sangat ingin minum latte. Kuhubungi Hans, saudaraku di Jogja yang badungnya bukan main. Kesibukannya membuatku harus menemuinya di cabang cafe miliknya yang ada di dekat Lotus, tempatku menginap. Berbekal payung lipat yang masih basah dan petunjuk Hans, aku berangkat dengan jalan kaki. Hujan masih belum juga reda, tapi itu bukan masalah. Sejujurnya, aku menyukai hujan, tapi hujan bulan Desember terlihat sedang marah. Sama sepertiku, yang jadi mudah marah akhir-akhir ini. Oke hujan Desember, kita sedang dalam mood yang sama.

Dari balik pohon mangga, papan nama The Borrow terlihat sangat jelas. Saat aku masuk ke dalamnya, aroma kopi dan kertas langsung memenuhi paru-paru. Separuh dinding di sini dipenuhi rak buku, entah apa yang merasuki Hans. Ini bukan gayanya, tapi ku akui idenya sangat keren. Setelah memesan secangkir latte panas, aku memilih duduk di dekat jendela kaca. Tempat ini lebih mirip perpustakaan berkopi dari pada cafe berperpustakaan. Bingung? Ya, aku juga. Makanya aku mengambil novel ringan sebagai bacaan sambil menunggu latteku datang.

Bunyi gemerincing di meja depan sangat nyaring dan mengganggu pendengaranku. Setelah ku teliti, ternyata bunyi itu berasal dari gelang seorang gadis berkerudung. Jaket bomber warna hijau lumutnya basah di beberapa bagian, dan kelihatanya dia menggigil. Gadis yang membelakangiku itu terlihat sangat sibuk, aku bisa menebak dari gerakannya yang sangat cepat saat mengetik. Gerakan tangannya yang tidak pernah berhenti membuat gemerincing loncengnya juga tidak pernah absen. Oh tolong nona, gelangmu itu sangat menggangu!

Latteku datang. Akhirnya, satu-satunya hal baik tiba. Latte itu berhenti di depan bibirku sebelum kusesap, sengaja menghirup aromanya agar lebih rileks. Tanpa sadar, akupun tenggelam dalam buku bacaan sampai Hans datang.

"Hai! Tempatmu unik juga, ku pikir bakalan lebih garang."

"Aku dapet ide ini dari orang hebat mas. Namanya Alena, orangnya cantik, pintar, dan mandiri. Mas pasti suka." Seketika ku geplak kepalanya dengan novel di atas meja.

"Dateng-dateng langsung main jodoh. Aku kabur dari jodoh, malah di jodohin di sini." Kulihat senyum jail di wajahnya surut.

"Yang bener mas? Seorang Ananta mau dijodohin dan kabur?" kemudian dia tertawa terbahak-bahak, oh sial.

Dan begitulah obrolan kami ngalor-ngidul sampai hujan reda. Kesibukan Hans mengelola cafe-cafenya hingga beranak pinak di penjuru Jogja membuatku takjub. Dari semua celotehannya, aku tertarik dengan ceritanya tentang gadis cantik yang di awal tadi sempat ia jodohkan kepadaku.

"Ide-ide yang dia punya segar dan unik, baru umur 22 tahun padahal. Alena itu pintar dan mandiri, tapi dia berhenti kuliah di tengah jalan. Sayang banget."

"Kenapa emang?"

"Mas harus ketemu sendiri." Aku cemberut, Hans memang nyebelin banget.

Aku bangkit dari sofa, setelah berpamitan dengannya. Di luar hujan turun lagi, di depanku seseorang berdiri kebingungan. Hujan semakin deras, dan aku terlambat menyadari. Si gadis lonceng! Aku mengenali sosoknya dari bomber lumutnya dan kerudung senada yang kini lepek terkena hujan. Aku sudah beberapa langkah di depannya, spontan berbalik dan menyodorkan payung di genggamannya. Di bawah payung yang sama, aku menghirup aroma vanila yang samar dari kerudung lepeknya. Gadis itu mendongak, tangan kanannya yang kosong menyentuh bibirnya dengan kaku beberapa kali. Deg! Aku terdiam, aku tahu gerakan itu. Bukannya merespon, aku malah terpesona. Entah aroma vanila atau karena wajahnya, tapi dia sangat manis. Dia mengulangi gerakannya dan dengan ragu aku bertanya.

"Terima kasih?" dia mengangguk kegirangan. Aku tersenyum kikuk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Gadis itu menempelkan kepalan tangannya di dada, dengan jari kelingking yang terangkat. Kurasa dia akan memperkenalkan dirinya. Tangannya kembali terangkat dan mengepal, itu huruf A. Kemudian berubah membentuk huruf L. Spontan aku berbisik.

"Alena," Dia terkejut.

"Alena kenalan Hans?" dia tersenyum dan mengangguk, kemudian perlahan dia pergi meninggalkanku diguyur hujan bulan Desember. Sialan! Desember, sepertinya aku harus belajar bahasa Isyarat lagi.

-000-

ps: kamu juga bisa baca cerita lain bertema desember di buku kumpulan cerpen terbitan Ellunar. saya menyarankan baca yang 'December sky' saja mwehehehe

Menelisik KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang