My Turn to Cry

39 0 4
                                        

Pria di depanku ini mengusap wajahnya kasar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pria di depanku ini mengusap wajahnya kasar. Pria? Baiklah aku mengaku, aku menganggapnya pria walau mulutku ini selalu menyangkal dengan nada tinggi. Siapa yang bisa menyangkalnya? Dia tinggi, tampan, digilai gadis-gadis, dan sangat bisa menghargai wanita. Yah kecuali aku tentunya. Dia tidak menganggapku wanita. Aku ulangi sekali lagi. Dia. Tidak. Mengaggapku. Wanita. Buktinya? Dia nekat mengganti kemeja kerjanya dengan kaos kebesarannya di depan kedua mataku. Waktu kutertawakan dia menjawab "Toh kau juga tidak akan tertarik padaku." Uh! Sial, omonganmu itu salah tahu!

"Ra, dia masih belum mau mengangkat telefonku." Seruan Tomi membuyarkan lamunanku. Yah, pria itu Tomi, teman kecilku.

"Bersabarlah. Beri dia waktu. Kata-katamu memang sangat keterlaluan." Aku menyahut cuek sambil menyomot kentang goreng.

"Berhenti makan dan bantu aku." Tomi menepis kentang gorengku. Astaga!

"Dengar ya, wanita mana yang tidak sakit hati kalau dibanding-bandingkan dengan wanita lain. Apalagi itu mantanmu yang bodynya aduhai. Kamu ini kenapa sih sampai kelewat batas?"

"Ra, aku cuma bercanda. Biasanya kamu juga tidak marahkan." Aku mendelik.

"Helooo...Tom, Nadia itu pacar kamu. Kalian resmi baru empat bulan yang lalu, wajar saja kalau dia marah. Jangan bandingin sama aku, aku udah kebal sama mulut pedas kamu." Aku sedikit menekankan nadaku di kalimat pertama. Tomi menatapku dengan memelas lalu mengacak rambutnya frustasi.

"Trus aku harus gimana?"

"Sabar. Tunggu sampai kepalanya dingin dulu." Tanganku maju merapikan rambutnya yang berantakan. Tomi sendiri tidak peduli, sibuk menyomot kentang goreng dengan rakus karna frustasi.

"Ra, kok kentangku tinggal dikit?" Tomi memberengut. Astaga pria satu ini! Bikin gemas.

Aku tertawa sumbang sambil memamerkan tanda v dengan dua jariku. "hehe laper."

Ck! Tomi berdecak lalu berdiri dari kursinya.

"Mau kemana? Pulang sekarang?" Aku ikut berdiri dan mulai merapikan barang-barang kami.

"Pesan cheese burger buat kamu."

Oh God, how can't i'm not falling in love with this guy?

.000.

Tomi memarkir mobilnya di depan rumahku. Ini sudah jam 11 malam dan kalian tahukan telinga tetangga usil tidak pernah tidur? Jadi, aku bergegas keluar dari mobil Tomi. Sialnya dia lupa membuka kunci pintu. Atau bisa juga dia sengaja tidak memperbolehkan aku turun karna ingin 'Talk Time' yang biasa kita lakukan di akhir  jalan-jalan kami.

"Kunci." Aku mengingatkan, tapi dia bergeming.

"Ra, memangnya kalau dibandingkan dengan wanita lain, orang bisa marah sampai sakit hati ya walau cuma bercanda?" Tomi membuka 'Talk Time' kami yang sebenarnya sedang aku hindari. Nah kan, firasatku benar. Aku menarik nafas panjang.

"Tom, kamu suka kalau dibandingkan dengan adik-adik kamu sama mamah kamu?"

"Enggak sih Ra, tapikan ini kasusnya beda."

"Apanya yang beda?" Aku menaruh atensiku padanya.

"Ya... beda. Itukan dalam keluarga. Nadia kan pacarku dan udah kenal aku Ra."

Aku tersenyum, "Tom, yang namanya dibandingin itu tetap dibandingin. Sama aja."

"Tapi Ra..." dan perdebatan kami mengenai masalah tadi memenuhi setiap inci mobil Tomi. Perdebatan kami tidak berlangsung lama karna Tomi tidak bisa menyanggahku. Aku tersenyum mengejek. Suasana mendadak menjadi sepi dan sedikit canggung. Jam digital di tangannya sudah menunjukan lewat tengah malam. Aku membuka pintu dan bersiap keluar.

"Ra, kok kamu nggak pernah marah?" Tomi masih berkutat dengan percakapan kami tadi. Aku tersenyum.

"Karna aku tahu itu semua fakta." Tawanya meledak. Sungguh! Aku juga terkejut. Yah, ku akui aku mengolok diriku sendiri. Kubanting pintu mobilnya. Tomi menurunkan kaca samping kiri dan aku menunduk menjajarkan tinggi mobil sedannya yang kelewat pendek.

"Apa?" Tanyaku galak.

"Thanks ya Ra."

"Yo. Sama-sama. Bye!" Kulambaikan tangan dan berbalik meninggalkan Tomi. Selang beberapa detik, mobilnya melaju dan menjadikan halaman depan rumahku meredup. Begitu juga hatiku. Langkahku terhenti dan mataku memanas.

Tidak marah katamu? Aku hanya pura-pura. Hatiku sakit setiap kau bandingkan walau dengan nada bercanda. Fakta-fakta yang kau beberkan itu memukulku mundur. Aku tidak sebaik Nadia, tidak secantik dia, dan bahkan dadaku rata seperti yang kau bilang. Dan aku tahu kau tidak suka wanita seperti itu. Maka, aku berjalan mundur meninggalkan perasaanku alih-alih mendukung kisah cintamu dengan Nadia. Nadia, yang lewat caramu menatapnya saja aku tahu aku kalah telak.

Drrtt drrtt...

Smartphoneku bergetar.

From: Tomi S.

Aku mendadak dapat ide gila. Tapi aku benar-benar sudah gila karna Nadia baru saja menelefon dan meminta maaf. Ra, dia meminta maaf! Kan seharusnya aku yang meminta maaf.

I think she's my soulmate. What if i ask her to marry me? Tomorrow?

Aku meremas Smartphoneku dan menghapus jejak basak di pipi dengan tangan yang lainnya. Cepat-cepat aku mengetik balasan. Tomi tidak suka menunggu.

To: Tomi S.

I will help you! *excited*

Drrtt drrtt... Aku langsung mendapat balasan.

From: Tomi S.

Hahaha thanks, itu kewajibanmu!

cari pacar sana! Biar ada gandengan di nikahanku nanti.

Yah... Tom, mungkin aku akan melupakanmu. Mungkin aku akan mencari penggantimu. Aku tahu aku bisa. Tapi nanti, setelah kamu menikah.

Menelisik KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang