Satu getaran dari telepon genggam menghentikan langkah saya menuju kantor. Berhenti sejenak untuk mengeluarkan benda tipis tersebut sebelum kembali menggerakkan kedua tungkai kaki. Kening saya berkerut heran segera setelahnya, lantaran membaca nama lelaki yang baru saja saya temui di warteg dekat kosan.
[Dito] Dito sent a picture
[Dito] Ti, titip dongTitip apa? (Saya belum membuka gambar yang dia kirimkan)
Gambar berkotak-kotak susu cokelat langsung tertangkap kedua mata saat saya melihat gambar yang Dito maksud. Melihat latar belakang dari gambar itu, tidak salah lagi adalah kantor tempat kami berdua (dan teman-teman yang lain) magang saat ini. Tapi dalam rangka apa? Apakah ini kelanjutan dari acara bagi-bagi permen tempo hari?
[Rasti] Hah? Bagi-bagi susu?
[Dito] Iya
[Dito] Tolong ambilin satu dongSaya tidak bisa menahan senyum membaca chat-nya yang satu ini. Mental mahasiswa memang, mencari sesuatu yang murah dan kalau bisa, gratis. Tapi tentu saya tidak bisa mengatakan hal ini pada Dito, karena saya juga sama sepertinya. Mumpung gratis, makanya dimanfaatkan.
[Rasti] Hahahaha kalo masih ada ya
[Dito] Sip
[Dito] Thanks yaDan seperti itu, obrolan kami di ruang chat berhenti begitu saja. Tidak mengherankan, toh memang begitulah sifat dari hubungan kami berdua. Hanya sebagai teman satu jurusan yang kebetulan mendapat kesempatan magang di kantor yang sama. Hanya mengirimkan chat ketika membutuhkan sesuatu (dan biasanya Dito-lah yang memulai).
Padahal saya berharap lebih.
.
.
Ting!
Suara elevator yang sudah ditunggu sekian lama akhirnya terbuka. Membawa saya ke lantai 11 gedung di daerah Jakarta Selatan (tidak perlu memberikan alamat spesifik, toh detail seperti ini tidak begitu diperhatikan). Keluar perlahan, karena sebagian besar populasi dalam elevator tadi turun di lantai ini, dan saya langsung melihat susu cokelat yang dimaksud Dito tadi.Ternyata benar, kantor saya memang sedang membagikan susu gratis untuk pegawainya. Usaha yang baik, walaupun saya tidak mengerti apa hubungan pekerjaan dan sekotak susu cokelat (belakangan saya tahu, maksudnya adalah agar kami bisa semangat belerja setelah meminumnya). Tangan saya terulur maju, meraih sekotak susu dan menimbang-nimbangnya. Perlukah saya ambil satu lagi?
Yang ada di tangan saya sekarang adalah untuk Dito. Perlukah saya mengambil satu untuk diri saya sendiri? Apakah sebaiknya tidak, mengingat perut saya yang mual setelah meminum susu cokelat beberapa hari yang lalu.
Ah sudahlah, toh Dito tidak akan tahu saya hanya mengambil jatahnya saja.
.
.
[Rasti] Rasti sent a photo
[Rasti] Masih dapeettYakin deh, kalau chat ini diaplikasikan dalam dunia nyata, saya pasti sudah mengatakannya dalam suara imut nan manis yang akan membuat saya bergidik geli setelahnya. Tapi sudahlah, toh Dito tidak akan mendengar suara saya yang seperti itu dari telepon genggamnya.
[Dito] Yeeaaayy
[Dito] Thanks, Ti
[Dito] Nanti kuambil di kos ya
[Rasti] Sama-samaaa
[Rasti] Okee sipppPercakapan kami kembali terhenti.
Ketika saya masih berharap lebih.
.
.
20.58"Makasih Feb!"
"Yo'i, sama-sama."
"Duluan ya!"
Begitulah cara saya mengakhiri hari yang panjang. Pamit pada rekan satu tim yang kebetulan ngekos di seberang kosan saya saat keluar dari taksi. Lumayan, menghemat ongkos transport saya plus saya bisa duduk nyaman di kursi belakang taksi biru itu.
Oh iya, sebelum lupa (padahal saya tidak pernah melupakannya sepanjang hari).
[Rasti] To, susunya mau diambil kapan?
Mungkin agak terlambat saya mengechatnya pada jam segini. Mungkin dia sudah terlelap di kamarnya, tanpa mengindahkan telepon genggam miliknya (karena hanya sedikit sekali yang bisa kami lakukan setelah pulang kerja). Tapi, tidak ada salahnya mencoba kan?
Drrt...
Handphone saya bergetar tepat ketika saya menginjak anak tangga pertama.
[Dito] Sekarang aja Ti
Well, tepat waktu sekali.
Ketika saya berbelok di ujung lorong, saya mendapati kamar di depan kamar saya terbuka. Kamar Dito (dan Aga).
"Hey," sapa saya pada Aga yang kebetulan sedang berada di depan pintu.
"Baru pulang Ti?"
"Iya nih, tadi ke kantor klien," jawab saya. Tidak menyebutkan fakta bahwa sebenarnya saya makan malam terlebih dahulu dengan tim saya."Oh ya, Dit. Ini susunya."
Dito, yang sebelumnya hanya mendengarkan 'obrolan' saya dengan Aga, menghampiri saya dan menerima sekotak susu cokelat titipannya.
"Kok ada susu cokelat?"
Aga protes, membuat saya dan Dito hanya mengulum senyum.
"Makanya, jangan ke klien mulu. Ke kantor dong."
"Ya udah, besok aku ambil dua deh."
"Emang besok masih ada?"
Pertanyaan saya ini mengundang senyuman dari Dito. Dan saya harus menahan diri untuk tidak terlalu lama menatapnya (tapi kan saya sudah melakukannya dari tadi).
"Oke, thanks ya Ras," kata Dito sekali lagi.
Saya hanya tersenyum, sebelum melangkahkan kaki menuju pintu kamar dan mengetuknya pelan. Semoga teman sekamar saya tidak mengunci pintunya.
Saya bersikap biasa saja, walaupun saya tahu pandangann Dito masih mengekori saya hingga saya berdiri di depan pintu kamar. Setelah itu, dia langsung masuk ke kamarnya sendiri tanpa menunggu apakah saya sudah dibukakan pintu kamar atau belum.
Padahal saya menginginkan lebih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary
Fiksi UmumKarena semua interaksi ini akan berakhir ketika kami kembali.