BAB 17 Titik Tergelap

6.8K 739 15
                                    



"Kau bertemu dengan ... Bu Eli?" tanyaku dengan ragu.

"Ya."

Aku menatapnya dengan perasaan berkecamuk. "Untuk apa?"

David menghela napas pelan. "Aku sudah bilang padamu bahwa aku akan mengawasimu."

Aku merasakan rasa kalut itu semakin nyata sekarang. Aku menyadari bahwa David mulai mencurigai tuduhanku hanyalah bualan dari orang yang mentalnya tidak stabil. Ia tidak sepenuhnya-mungkin bahkan tidak pernah mempercayai ceritaku lagi.

"Aku tidak benar-benar gila ..." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku menarik napas lagi, mencoba mengeluarkan semua yang ada di pikiranku saat ini. "Dan aku sudah sembuh-dari apa pun penyakit yang Bu Eli katakan padamu. Kau harus percaya padaku. Semua yang kukatakan padamu itu semua jujur."

"Tenanglah, Lauren."

Aku menatapnya, mencoba menahan semua emosi yang rasanya sudah muncul di ujung lidahku.

"Aku tidak pernah berkata bahwa aku tidak percaya padamu," sambungnya.

"Lalu apa yang kau inginkan dari Bu Eli?" tanyaku.

David kembali diam, hanya menatapku beberapa saat. "Sejak kapan kau melakukan perawatan dengan Bu Eli?"

Aku menegang sesaat kemudian menggeleng lemah. "Kurasa kau sudah tau tentang hal itu, jadi kenapa perlu bertanya lagi?"

David tetap diam, menungguku. Aku mengatupkan rahangku keras beberapa saat, kemudian akhirnya menghela napas tak sabar. "Kau ingin aku mengatakannya? Baiklah, aku mengikuti terapi dengannya setelah kematian keluargaku."

"Bagaimana mereka meninggal?"

Seketika itu juga rasanya jantungku langsung berhenti berdetak beberapa saat. Aku menunduk dan aku yakin David juga menyadari perubahan raut wajahku yang tiba-tiba. Rasanya kepalaku mulai kembali berputar dan kini mulai membuatku sedikit mual. Aku tetap berusaha untuk bersikap normal dan tidak memperlihatkan pada David bahwa topik ini masih bisa mempengaruhi dengan sangat cepat dan luar biasa besar. Itu hanya akan memperberat dugaannya tentangku.

"Bu Eli tidak cerita padamu?" suaraku terdengar sangat aneh.

"Tidak."

Aku menggeleng lelah. "Apa yang kau tanyakan padanya, kalau begitu?"

David diam beberapa saat. "Penyakitmu."

"Dan dia menjawabnya?"

Hening sejenak. "Ya."

Aku meliriknya sekilas. "Apa jawabannya?"

David diam sejenak. "PTSD. Dan Schizophrenia sebagai efek terbesarnya," jawabnya pada akhirnya.

Aku mengangguk kecil, kembali berusaha untuk bersikap biasa. Sekalipun jantungku kembali berdetak. Sejak dulu entah kenapa aku tidak pernah menyukai nama-nama penyakit itu-terutama saat penyakit itu ditujukan padaku. Kedua nama itu seperti menjadi sebuah tanda kehancuran yang tertempel di hidupku.

"Aku sudah sembuh," ujarku pada akhirnya, setengah pada diriku sendiri.

David diam beberapa saat. "Dia bilang beberapa hari lalu kau menelponnya."

Silent GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang