BAB 25 Permintaan

6.1K 651 12
                                    



Aku sudah bersiap untuk mendengar penolakan yang keluar dari Ibu Hilda, namun penolakan itu tidak muncul. Ia masih berdiri di depan kami, menatap kami dengan sorot penuh keraguan. Tapi wajah pucat dan lemas itu tidak lagi muncul-atau lebih tepatnya dipaksakan pergi dari wajahnya, seolah ia sadar kalau ekspresi itu tidak seharusnya muncul di hadapan kami. Tangannya mulai saling bertautan, meremas dengan gemetar yang samar-samar bisa kulihat.

Pemandangan ini entah kenapa membuatku merasa bersalah dan secara bersamaan juga merasa ingin cepat-cepat membongkar misteri ini.

"Masuklah, kalau begitu," ujar Ibu Hilda akhirnya.

"Terima kasih, Bu," sahutku dengan penuh kelegaan.

Ibu Hilda kemudian mengangguk dengan senyum lemah, lalu membukakan pintu rumah berwarna coklat tua itu lebar-lebar. Aku berjalan memasuki rumah itu, David mengikutiku dari belakang.

Rumah itu sama sederhana dengan penampilan luarnya, namun sangat nyaman. Ruang tamu itu cukup besar dengan sofa oranye pudar, kemudian di bagian belakang terdapat dapur. Di sebelahnya terdapat dua pintu berjajar dan sebuah tangga kecil menuju lantai atas.

Ibu Hilda mempersilahkan kami duduk di sofa. Aku berjalan menuju sofa dan duduk di sofa yang menghadap ke arah dua pintu itu. David mengikuti, duduk di sebelahku.

"Kau ingin minum apa?" tanya Ibu Hilda.

Aku tersenyum ramah. "Air putih saja, Bu."

Ibu Hilda mengangguk, lalu menatap David.

"Aku juga," jawabnya.

Ia kembali mengangguk. "Tunggu sebentar, ya." Kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.

Aku mulai menatap ke sekeliling ruangan ini dan menyadari hanya ada dua foto yang berjajar di dinding ruang tamu ini. Tatapanku langsung terpaku pada foto yang berada paling kanan. Foto itu adalah foto Hilda bersama adiknya, Adit. Foto yang sepertinya diambil tidak lebih dari beberapa tahun belakangan ini-mungkin saat tahun terakhir Hilda kuliah. Di foto itu, tangan Hilda sedang memeluk Adit dengan penuh sayang.

Aku tertegun melihat foto tersebut. Karena rasanya itu pertama kalinya aku melihat Hilda tersenyum.

Dan gadis itu memang cantik. Ada sesuatu dari senyumnya yang justru menimbulkan rasa untuk melindunginya. Ironi, aku tau. Tapi aku menyadari bahwa Hilda selama ini menyembunyikan senyumnya dari dunia luar yang menyakitinya. Dan aku sadar ia mungkin jauh lebih kuat daripadaku.

"Foto-foto itu sebelumnya lebih banyak daripada sekarang," ujar David, menyadari arah tatapanku sejak tadi. "Sepertinya ibunya sengaja menurunkan foto-foto itu setelah pemakaman itu," sambungnya.

Aku terdiam beberapa saat. "Itu pertama kalinya aku melihatnya tersenyum," ujarku pelan.

Suasana kemudian hening beberapa saat. "Setidaknya kau tau dia bisa tersenyum dengan orang-orang yang dicintainya," ujar David beberapa saat kemudian.

Aku mulai membuka mulut, namun kemudian sosok Ibu Hilda kemudian muncul dari dapur. Ia membawa nampan kecil yang berisikan dua gelas air putih. Lalu mulai menaruh gelas itu di hadapan kami.

"Terima kasih, Bu."

Ia mengangguk sambil tersenyum, masih dengan senyum lemah yang sejak tadi muncul di wajahnya. Ia kemudian duduk di hadapan kami.

Suasana kembali hening. Aku sadar Ibu Hilda menunggu salah satu dari kami untuk langsung mengatakan sesuatu tentang tujuan utama kami datang ke sini. Wajahnya was-was, namun juga terlihat ingin cepat-cepat menuntaskan pertemuan ini secepatnya.

Silent GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang