Video Call

20 4 0
                                    

Pertemun di belakang sekolah kemarin ternyata tak lantas membuat kami lebih akrab. Aku masih sembunyi-sembunyi untuk melihat permainan basketnya. Aku masih takut untuk memulai lebih dulu mengirimkan pesan untuknya. Aku masih terlalu penakut untuk menjadi seseorang yang teramat mengagumi. Sampai kapan aku terus menahannya seperti sekarang? Padahal aku sudah meyakini bahwa aku memiliki perasaan khusus terhadapnya. Aku mencintainya..

Kalian menertawaiku? Terserah, this is my feel.

Pertanyaan demi pertanyaan timbul tenggelam dalam pikiranku. Aku masih sibuk untuk menyimpan foto terbarunya yang diunggah di akun sosial media. Aku juga masih mengintip beranda profilnya. Ram sendiri juga tak pernah menyoba menghubungiku atau sekedar menyapaku di sekolah. "Hai San, siapakah dirimu sehingga penting untuknya memberimu perhatian lebih?" duplikatku di cermin mengkritisi keinginanku tadi.

Seminggu berlalu. Aku tak berkomunikasi sama sekali dengannya. Dalam kurun waktu itu, aku bisa mengalihkan konsentrasiku mengerjakan kegiatan OSIS yang akan segera berakhir masa jabatanku di pengurusan pada semester ini. Maya juga mampu mengalihkan pikiranku dengan mengajakku belanja buku, sekedar nongkrong di taman, bahkan kemarin sore dia main ke rumahku. Akhir-akhir ini Maya mulai belajar mencintai pelajaran Fisika setelah aku menjenguk papa nya siang itu. Bisa dibilang sebuah hidayah, ketika melihat sang papa memberi wejangan padanya untuk lebih rajin belajar menjelang naik kelas 12. Aku menjadi guru keduanya setelah Pak Suto.

Banyak peristiwa yang terjadi dalam seminggu ini. Tapi pada malam ini di kamar, aku mengalami puncak kerinduan yang tak bisa terbendung. Aku bahkan tadi sore hampir membuat Mbak Tin bingung ketika memanggil namanya Ram. Padahal jelas-jelas nama pembantu rumah tangga ku itu Hartatin. Bisakah itu disebut kerinduan yang akut untuk seseorang yang tak memiliki status apa pun dengan seseorang?

Aku berusaha mengetikkan sesuatu di layar ponselku. Andai saja masih zaman mengirim surat cinta, mungkin aku menghabiskan berlembar kertas hanya untuk mengoreksi apa yang ingin ku tulis. Beruntungnya, zaman era kecanggihan teknologi membantuku untuk lebih efisien hanya menggunakan layanan "hapus" untuk pesan yang batal aku tulis. Aku tak punya pengalaman untuk memulai percakapan dengan seseorang yang spesial. Aku terbilang remaja yang telat memiliki sebuah perasaan. Padahal remaja seusiaku sudah mengalami itu sejak kelas 7 atau 8. Sedangkan aku baru mulai menyadari itu ketika masuk kelas 10. Dan sialnya, perasaanku tak dirasakan oleh kebanyakan remaja. Aku mengagumi cowok.

Kembali aku menatap aplikasi LINE ku. Dengan sedikit terpejam aku menekan tombol kirim untuk sebuah pesan yang sudah ku tulis: Hai Ram. Hanya dua kata itu yang tadi berulang kali aku hapus. Aku menunggu balasannya. Lima menit kemudian, aku belum melihat tanda-tanda pesanku dibaca. Aku mulai gelisah dengan apa yang akan terjadi. Pada menit ketujuh, pesan tersebut terbaca. Tapi tak juga mendapat balasan. Pikiranku menjadi kalut. Mataku memanas. Dadaku bergemuruh tak menentu. Aku meremas kepalaku kuat-kuat. Rasanya ingin mengutuki diriku sendiri yang bodohnya mengirimkan pesan seperti itu hanya untuk dibacanya. Sabar Ichsan...

Dalam ketidakpastian itu, ada suara memanggilku. "Ichsan.." suara Mama sambil mengetuk pintu. Aku buru-buru menutup layar komputerku yang tadi aku nyalahan untuk melihat foto-foto Ram yang teralbumkan.

"Ichsan.." Mama tak sabar menungguku membuka pintu. "Iya Mama, sebentar.." teriakku. Ketika semua sudah aman, aku membuka pintu. "Kamu lagi apa, lama sekali membukanya?" tanya Mama sambil menyelidik ke kamarku. "Tiduran saja Mama," jawabku. "Kamu jam segini sudah tidur, Mama mau pamit ke Padang malam ini juga," "Mendadak banget Ma?" "Iya, urusannya memang dadakan. Kamu baik-baik ya di rumah. Awas kalau masukin teman gadismu," cubit Mama di pipiku. "Mama seperti baru kenal Ichsan saja. Mana ada dia punya teman, paling juga Maya yang diajak ke sini," suara Papa mendadak nimbrung obrolan kami. Mama dan Papa kemudian tertawa. "Puas banget ngeledekin anaknya," aku kesal juga dibilang begitu.

UNPREDICTABLE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang