A Rival

20 4 0
                                    


Dua minggu semenjak video call pagi itu terjadi. Dua minggu juga jam istriahat pertama aku melihatnya latihan basket. Tentunya masih dengan sembunyi-sembunyi. Tapi kini, aku bersama Maya duduk di kursi beton panjang yang ada di koridor sekolah. Banyak juga siswa yang melakukan hal yang sama. Mungkin suasana kantin akan lengang sejenak. Sambil menunggu yang kami tunggu dimulai, Maya sesekali mengajakku foto selfie. Lalu ia memasukkannya di aplikasi Instagram miliknya.

Lima menit kami menunggu, satu per satu anak basket menuju ke lapangan. Inilah momen yang pernah dikatakan David ketika aku pingsan waktu itu. Laga persahabatan antar sekolah SMA Permata Bangsa dan SMA Sinar Terang siap dimulai pagi ini. Suara penonton mulai riuh. Apalagi ketika tim Cheers yang sejak tadi menyanyikan yel-yel dukungan. Aku terfokus pada sosok yang selama ini aku kagumi.

Hari ini Ram terlihat lebih keren. Rambut panjangnya sedikit dirapikan sehingga telingannya terlihat. Tapi kumis tipisnya dibiarkan tetap mengembun. Pada bagian itu, terkadang aku begidik. Ingin rasanya aku menyentuhnya dengan.... eh sensor ya.

Gayanya tetap kalem dengan tatapan teduh. Berbeda dengan David yang sejak tadi banyak gaya. Bagi David, lapangan basket adalah panggung entertain nya dia untuk mendapatkan pujian-pujian dari siswi-siswi di sekolah.

Di pihak lawan, mereka juga tampil prima. Mereka memiliki penampilan yang menarik. Entah apakah wajah ganteng termasuk persyaratan atau tidak untuk menjadi pemain basket, karena rata-rata memang memiliki paras yang keren. Sebenarnya mungkin tidak, di sekolah kami kebetulan saja mayoritas memiliki wajah yang menarik dan berkulit putih.

Priit... peluit tanda permainan dimulai. gerak para pemain mengoper bola dan memasukkannya ke ring menjadi tontonan yang menegangkan. Penonton akan bertepuk tangan ketika tim dari sekolah kami berhasil mencuri poin. Sebaliknya, jika tim lawan yang berhasil memasukkan bola ke ring, maka teriakan menjatuhkan nyaring terdengar. Aku bukan termasuk penonton seperti itu. Maya juga terlihat kalem saja menontonnya. Sesekali dia ikut tepuk tangan ketika tim kami mendapatkan poin.

Pada permainan itu, Ram bertindak sebagai Point Guard, yakni orang yang membawa bola dan memberikan operan kepada temannya. Dia memang jago dalam hal itu. Operannya hampir jarang ditangkap oleh lawan. Aku menyukai gayanya mengamankan bola dengan teknik memunggungi lawannya.

Babak pertama usai, poin sementara tim kami yang unggul. Ketika mendengarkan arahan pelatih, Ram sempat melambaikan tangannya kepadaku. Aku pun melakukan hal yang sama. Aku senang sekali, dia semakin memiliki kepedulian terhadapku. Rasanya, aku bukan lagi seseorang yang harus diam-diam mengintipnya bermain basket.

Di balik itu, ada yang membuatku tak nyaman sejak pertama kali dua tim itu masuk ke lapangan. Tatapan aneh dari salah satu tim lawan membuatku khawatir. Dia sering mencuri pandang ke Ram. Hingga posisi skor pun jika dia berkesempatan untuk memandang Ram, maka ia lakukan.

Dalam pergaulan remaja yang semakin kompleks, bukan hal yang tidak mungkin bahwa seseorang yang terlihat straight atau cowok banget memiliki orientasi seksual sejenis. Aku bahkan pernah membaca sebuah artikel bahwa cowok yang hobi merawat tubuhnya memiliki kecenderungan lebih tinggi memiliki orientasi seksual sejenis. Aku akhirnya memutar otak supaya tahu siapa nama cowok itu.

"San, David itu memang keren ya. Coba deh kamu perhatikan, semua cewek histeris menatapnya," ujar Maya mengomentari permainan.

"Tapi aku enggak," timpalku spontan.

"Lah, kan kamu memang bukan cewek," sahut Maya menatapku bingung.

"Eh, ngomong apaan tadi?" aku jadi salah ngomong kan tadi.

UNPREDICTABLE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang