Jilid 9

2.6K 36 0
                                    

Melihat pukulan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, tahulah tokoh Bu-tong-pai ini bahwa siluman itu memang lihai sekali.

"Siancai sungguh siluman jahat sekali!" Dan diapun cepat meloncat mundur untuk mengelak sambil mencabut pedangnya.

Empat orang muridnya sudah menerjang dengan pedangnya masing-masing dan Thian Sin segera dikurung dan dikeroyok. Permainan pedang Bu-tong Kiam-sut memang hebat dan berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari pelbagai jurusan, menggulungnya dan kalau Thian Sin tidak memiliki gin-kang yang hebat dan langkah-langkah ajaib dari Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terancam bahaya dikeroyok oleh mereka. Terutama sekali pedang di tangan Liang Hi Tojin amat lihainya. 

Pedang itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan sinarnya berkilauan menyambar-nyambar. Thian Sin tidak berani mencabut Gin-hwa-kiamnya karena mungkin pedang itu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin. Maka terpaksa diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk kadang-kadang menangkis kalau elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat menyelamatkan diri dari sambaran lima batang pedang itu.

Liang Hi Tojin dan empat orang muridnya terkejut bukan main melihat betapa siluman itu menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja! Padahal, pedang mereka adalah pedang pilihan, terbuat dari baja yang amat keras dan baik. Tahulah mereka bahwa siluman ini benar-benar amat lihai sekali dan merekapun tidak merasa heran sekarang bahwa Tujuh Pendekar Tai-goan tewas di tangan siluman ini. Liang Hi Tojin menyerang makin hebat karena marah dan karena dia beranggapan bahwa siluman selihai dan sejahat ini harus dilenyapkan dari permukaan bumi agar rakyat terbebas dari pada ancaman malapetaka yang ganas dan jahat.

Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya seperti Thikhi-i-beng misalnya, sin-kang yang dapat menyedot tenaga lawan, atau Thian-te Sin-ciang atau Thai-kek Sin-kun, tentu kakek Bu-tong-pai itu akan mengenal ilmu-ilmu dari Lembah Naga dan Cin-ling-pai itu. Kalau dia menggunakan ilmu peninggalan mendiang ayah kandungnya, yaitu ilmu-ilmu pukulan yang dahsyat Hok-liang Sin-ciang atau Hok-te Sin-kun, akibatnya bisa berbahaya sekali dan belum tentu lima orang itu akan mampu menahannya. Padahal, tentu saja dia tidak ingin membunuh lima orang tokoh Bu-tong-pai ini. 

Maka dia hanya mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, ilmu yang dipelajarinya dari kakek sakti Yap Kun Liong dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk menangkisi pedang-pedang itu. Dia menanti saat yang baik dan tepat untuk melakukan serangan terakhir seperti yang sudah direncanakannya ketika dia mengintai mereka tadi. Perlahan-lahan dia mundur kebelakang menuju ke bawah sebatang pohon yang daunnya lebar, selebar tangan dengan ujung runcing dan daun itu kaku pula, cukup baik dijadikan senjata. Tiba-tiba dia meloncat, mencabut beberapa helai daun dari ranting yang terendah dan begitu tubuhnya turun, dia menyambitkan daun-daun itu ke depan sambil membentak dengan suara nyaring,

"Pergilah!" Berturut-turut tangannya bergerak, dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, lima helai daun itu seperti anak panah saja meluncur secepat kilat menuju ke arah lima orang lawannya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang murid Bu-tong-pai itu melepaskan pedang mereka ketika sebatang daun menyambar dan menancap di pergelangan tangan kanan mereka seperti anak panah atau senjata piauw (pisau terbang)
dengan kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi. 

Sedangkan Liang Hi Tojin masih dapat menggunakan lengan kirinya menangkap daun yang menyambar pergelangan tangan kanannya itu, dan berbeda dengan empat daun yang lain, daun yang menyambar ke arah pergelangan tangan Liang Hi Tojin itu tidaklah begitu cepat dan kuat sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh tosu ini. Liang Hi Tojin memandang sekilas kepada daun di tangannya kemudian dia berkata, "Ambil pedang, mari kita pergi!"

Empat orang murid itu cepat mengambil pedang masing-masing dengan tangan kiri, kemudian bersama tosu itu mereka berloncatan meninggalkan tempat itu. Thian Sin tertawa dan memandang sampai mereka lenyap di balik semak-semak.

"Bagus, taihiap. Sungguh senang hatiku melihat engkau menghajar mereka, sayang tidak membunuh saja mereka itu agar kelak tidak mendatangkan penyakit."

Thian Sin menoleh dan melihat pendeta siluman ketua Jit-sian-kauw telah berada di situ. Tentu saja dia tadi mendengar gerakannya, ketika orang ini muncul dengan ringan sekali akan tetapi dia pura-pura tidak tahu membiarkan orang itu merasa bangga bahwa gin-kangnya sedemikian hebatnya, terlalu hebat bagi Pendekar Sadis untuk dapat mengetahui kedatangannya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Sian-su, kalau mereka itu memusuhi kita, sudah cukup kalau kita hajar dan mereka akan jera untuk mengganggu kita lagi. Membunuh mereka, berarti hanya akan memperdalam permusuhan belaka, membuat kita semakin repot menghadapi usaha mereka untak balas dendam kelak."

"Ha-ha-ha, engkau benar, taihiap. Ah, sungguh beruntung mempunyai seorang sahabat seperti engkau untuk bekerja sama," kata pula Sian-su dengan girang.

Mereka lalu kembali ke sarang Jit-sian-kauw. Thian Sin merasa girang sekali bahwa dia dapat mengelabuhi pendeta siluman itu. Dia tadi telah melakukan siasatnya dengan baik sekali. Dia tahu bahwa biarpun di sana terdapat sekutunya yang paling baik, yaitu Kim Hong, akan tetapi belum tahu Kim Hong dapat mencari tempat rahasia ini. 

Siluman Gua TengkorakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang