[1]

804 20 20
                                    

LETS READING.

••••••

"Adis." Adis menoleh ketika namanya dipanggil, lalu memasang wajah malasnya.

"Lo nggak nungguin gue? Gue cuma wawancara bentar kok buat majalah sekolah." Abigail, sahabat yang sebenarnya tidak ia inginkan, hanya saja gadis cerewet itu yang selalu saja menguntit hidupnya, mulai dari ia bangun pagi–dengan menerornya dengan pesan singkat, seperti ucapan selamat pagi, sampai Adis pulang dari club renang sekolahnya dengan memberinya air mineral yang tidak berguna.

"Nggak." Adis berjalan dengan cepat, menjauhi spesies macam Abigail yang menjadi moodbreaker-nya.

"Dis, tungguin gue lah, tiap hari gue juga nunggu lo kalo ikut club renang"

Adista menghela nafasnya,"Gue nggak nyuruh."

"Jahat." Abigail menggerutu melihat Adis–si ratu dingin, yang berjalan menjauh, menyisakan dirinya yang tengah bersumpah serapah. Ternyata benar, memang sangat susah mendekati Adista Chavali, anak dari pengusaha sukses yang menyewa gedung milik ayahnya untuk dijadikan kantor.

"Tahan Bi, lo bisa, dia cuma butuh waktu buat bikin dia bisa terbuka sama lo Bi, calm down baby." Abigail menyemangati dirinya sendiri, rasanya bodoh tapi sudahlah, dia ingin dekat dengan satu-satunya spesies paling pendiam di Language School Adamma– sekolah milik ayahnya.

Adis yang sudah keluar dari halaman sekolah menuju ke halte di samping cafe sekolah yang dikelola oleh reporter sekolah yang setiap hari menguntitnya– Abigail. Tidak seperti kebanyakan murid lain yang tinggal duduk manis dibangku khusus siswa yang disediakan tepat di depan lobby sekolah untuk menunggu jemputan masing-masing– biasanya mereka tipe murid nerd atau manja, atau seperti kebanyakan murid kelas 12 yang menuju besmen untuk mengambil mobil mewah yang berjajar rapi.

Adis melirik kearah jam tangannya, sudah pukul 15.00 wib, sepertinya tambahan pelajaran bahasa Prancis tadi membuatnya pulang telat. Sebenarnya, tambahan pelajaran itu tidak terlalu penting karena pada dasarnya Adis sudah menguasai bahasa tempat kakaknya dilahirkan itu. Adis hanya bosan, itu saja.

"Nggak bareng Abigail?"

Adis menoleh, keningnya mengerut. "Zaki?" Gumam Adis, Zaki masih diam merutuki kebodohannya, sepertinya skillnya mendekati seorang gadis menurun 0,1%.

Adis diam, lalu masuk kepintu bus yang sudah terbuka di depannya, diikuti Zaki. Suasana bus yang ramah dan tenang membuat Adis nyaman, gadis itu menyenderkan kepalanya di bangku dan memejamkan matanya.

Zaki yang melihat Adis, sedikit menyimpulkan senyum, senyum yang samar seperti kehidupan Adis. Langkah pertama Zaki untuk mendekati Adis dengan cara mendekati Abigail terlebih dahulu, satu satunya teman Adis, untuk sekedar bertanya tentang apa yang dilakukan Adis setelah kelas bahasa atau sudah gaya apa saja yang dipelajari Adis di club renangnya, namun dia lupa dengan Abigail adalah cewek paling ribet di dunia.

Walaupun begitu, yang namanya penasaran tetap saja penasaran, seperti siang ini, Zaki sengaja menitipkan mobilnya kepada Zyan– adiknya, dan memilih ikut mengantri di halte bus. Padahal Zaki yakin Adis adalah jajaran anak konglomerat dengan mobil mobil mewah di rumahnya. 

Zaki memandangi setiap lekuk wajah Adis, sebenarnya ada daya tarik tersendiri dari Adis, hanya saja ia tidak tahu apa itu.

Setelah pemberhentian terakhir bus semakin sepi, bahkan hanya tersisa dia dan Adis, dan satu ibu ibu dengan belanjaan yang dibawanya. Zaki yang sebenarnya ingin mengikuti Adis pun hanya diam. Sesekali matanya melirik Adis yang masih memejamkan matanya, sepertinya gadis itu begitu menikmati setiap detik perjalanan yang kira-kira berlangsung sekitar tiga puluh menit itu.

LET'S WE TALK [about us]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang