🌼Bab Tujuh

4.5K 330 45
                                    

Sudah baca bab 6?
Yang belum baca dulu, yuk!

------------

Sebuah klub anti fans ternyata mampu membuat Gita tidak konsen empat hari belakang. Pikirannya terus saja bercabang, sebentar ke Badai, sebentar ke kabarnya, sebentar ke kelasnya, sebentar ke aroma tubuhnya. Dan banyak 'sebentar' lain yang tidak bisa Gita bayangkan.

Termasuk saat Gita sedang asyik mengayuh sepeda merah mudanya di acara Car free Day. Seperti sekarang.

Gita sangat menyukai sepeda, dan disinilah ia berada. Bersepeda di pagi hari dengan celana panjang abu-abu, dan kaos putih dengan balutan jaket biru langit.

Begini.
Kalau ada kata selain cemas, deg-degan, panik, takut, dan gelisih, Gita akan memilih pilihan itu. Pasalnya, dari jarak 100 meter Gita melihat sosok yang belakangan Gita hindari. Tubuh tinggi dan tegapnya bisa Gita kenali meski sekilas.

Gita turun dari sepeda kemudian menuntunnya, Gita tidak akan mendekat, Gita harus menghindar, harus menjauh, Badai tidak boleh melihatnya.

"Enggak boleh. Nggak boleh. Nggak boleh. Ngga-" Tiba tiba Gita menghentikan langkahnya "Argh! Bodoh!" Umpatnya pelan.

Apa jadinya sekarang? Kenapa Gita malah jalan kearahnya? Kenapa langkahnya mengarah kesana?

Ah-yasudahlah!
Gita melenguh panjang. Kepalang tanggung ada di belakangnya, kenapa tidak Gita menyapanya saja sekalian.

"Badai?"

Panggil Gita, tidak terlalu kencang karena jarak mereka yang sebenarnya dekat.
Laki laki itu menoleh, awalnya wajah terkejut sangat terlihat di wajahnya. Namun perlahan pudar dan tersenyum.

Gita menyetarakan langkah mereka "Lo kesini juga?" Tanya Gita sekedar basa basi.

Badai hanya mengangguk.

"Lo baik baik aja?" tanya Badai tanpa melihat kearahnya.

Gita mengangguk walaupun tidak paham apa maksud dari pertanyaannya "Ya, gue baik baik aja. Kenapa?"

"Gue jarang liat lo di sekolah, belakangan ini lo juga nggak dateng ke kelas lukis. lo juga nggak ada di atap." Badai menoleh ke gadis di sampingnya yang masih menuntun sepedanya "Gue kira lo sakit."

Gita membuka mulutnya, ia melirik sedikit, lalu membasahi seluruh permukaan bibirnya yang terasa kering.

"Kenapa? Lo khawatir?"

"Iya. Emang nggak boleh gue khawatir sama lo?"

Gita terkejut dengan jawabannya.

"Jadi lo baik baik aja, kan?" tanyanya lagi.

Pandangan mereka sejenak bertemu. Kemudian Gita tersenyum. Kalau saja Badai tahu kalau senyuman itu tidak baik-baik saja.

Bagaimana kalau Gita jelaskan alasan kenapa Gita tidak pernah keluar kelas sekalipun ia sangat ingin, alasan kenapa Gita tidak datang ke kelas melukis. Dan alasan kenapa ia tidak datang ke atap, semata-mata untuk menghindarinya.
Bagaimana kalau Gita jelaskan seperti itu?

"Iya gue nggak apa apa. Belakangan ini-" Gita menghela nafas panjang "Gue lagi banyak tugas kelompok, jadi males ikut kelas lukis. Hehhe."

※※※

"Kenapa, lo kangen ya sama gue?"

"Eh?"

Jantung Badai tiba tiba seperti gunung merapi. Banyak gempa gempa kecil yang menyertai di balik dadanya. Seperti sebuah anak panah yang melesat di sasaran, ucapan Gita begitu mengejutkannya.

RESET (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang