Bab Empat Puluh Satu

2K 130 17
                                    

Tiga minggu setelah kejadian itu, tidak ada seorangpun yang ingin mengajak Gita bicara. Tidak kecuali Jeha.

Dan Gaga.

Dalam hati Gita bertanya apa yang membuat laki-laki itu bertahan sedangkan temannya saja tidak sudi bicara padanya.

Setiap orang pernah melakukan kesalahan, begitu juga halnya lo. Masalah lo itu sama dia, bukan sama gue. Jadi nggak ada alasan bagi gue untuk ngejauh tanpa alasan.

Itu masuk akal. Sedikit.
Meski normalnya pikiran semacam itu tidak muncul pada semua orang.

"Minggir... Minggir, ada pemenang piala Oscar mau lewat."

Seru suara yang nyaring sampai yang lain menoleh kearahnya. Tidak jelas siapa yang bicara, tapi intruksi itu dipatuhi dengan sempurna oleh mereka.

Mereka benar-benar membuka jalan untuk Gita. Itu bukan hal yang patut dibanggakan, bodoh kalau Gita tidak menyadari itu adalah cibiran orang-orang padanya.

Untuk yang kesekian kalinya. Gita hanya bisa menunduk dalam dan menelan pahit-pahit ludahnya.

Aku merasa diperlakukan sebagai sampah...

Disisi lain sekolah, tepatnya di depan madding lantai satu. Segerombol murid berdiri merapat. Tumben sekali, padahal hari-hari biasa tidak ada yang ingin melirik madding sekolah.

Jeha yang masih menenteng tas sekolah berusaha mendekat, ia membelah kerumunan dengan tubuh tingginya.

"Misi. Misi." ia menyalip beberapa orang. "Ada apa, sih?"

Mata Jeha dengan telaten membaca tulisan yang ditulis tangan diatas kertas A4 polos dengan tinta merah. Sederet sumpah serapah yang tidak pantas dikeluarkan terpampang jelas berkat tulisan berkapital itu.

"Lo temennya Gita, kan?"

Jeha melihat kanan dan kiri. "Gue?"

Laki-laki itu tersenyum sinis kearahnya. "Saran gue, kalo lo masih mau punya temen ya jauhin aja si Gita itu. Biar nama lo nggak ikut-ikutan dicap jelek!"

Jeha memiringkan kepalanya. Ia tidak tahu kenapa laki-laki ini peduli sekai dengan urusan orang?

Dia penggosip. Itu yang ada dikepala Jeha.

"Makasih banyak ya atas sarannya." cukup singkat, bahkan tidak perlu menoleh.

Kerumunan di madding semakin besar, mendengar bisik-bisik mengganggu Jeha langsung mengambil tindakan. Ia tarik semua kertas yang menjejerkan foto dan sederet sumpah serapah pada Gita dengan sekali sentak.

"HOOO!" kor kekecewaan itu menyeruak dengan kompak.

"Apaan sih main cabut-cabut aja! Biarin aja orangnya liat! Biar malu sekalian!" komen perempuan dibelakangnya.

"Tau! Masih aja mau temenan sama penghianat kaya gitu! Orang kaya gitu nggak pantes dipelihara disini!" sambar yang lainnya.

"Oh, gue rasa yang ini juga udah jadi penghianat juga. Biasanya mereka bakal ngelindungin teman sesama penghianat. Iya, kan?" yang lainnya ikut bergabung.

Jeha melotot. Kesabarannya seperti ditarik dari kepala. Habis mereka! Seenaknya saja bicara!

"Udah sana pada bubar!" amuk Jeha. Ia mengakat kertas setinggi tangannya dengan kesal, lalu berbalik melihat setiap wajah yang mengolok-ngolok dia dan Gita tajam-tajam. "Kalo kalian marah karena orang kaya Gita dan gue jadi penghianat. Gimana sama kalian yang hobinya baca fitnahan receh kaya gini! Huh!? Dasar kampungan!"

Jeha tidak pernah merasa semarah ini sebelumnya. Alasannya beragam, pertama karena dia tidak tahu apa-apa tapi ada orang yang mebgira dia sebagai pengianat. Kedua, kenapa penghianat? Siapa yang dihianati? Badai? Mereka itu tidak tahu bagaimana Gita sebenarnya tapi dengan mudah bilang dia seorang penghianat. Dan ketiga, Kalau saja Gita mendengarkan ucapannya sejak awal untuk tidak masuk dalam skandal besar ini dia pasti tidak akan berakhir dengan dipermalukan.

RESET (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang