Awan Putih di Langit Kelabu

96 2 0
                                    

Yang terlewati dan tak mungkin kembali. Yang dikenang. Yang kini pergi. Seseorang di masa lalu.

***

Beberapa menit yang lalu teman-temanku pergi meninggalkanku setelah ajakan mereka kujawab dengan gelengan kepala. Aku tidak ingin pergi ke mana pun. Hanya di sini saja. Duduk di tepi sungai yang membelah desaku dengan desa seberang. Kudekap buku bersampul cokelat yang sudah lusuh. Mataku menatap kosong ke arah sungai yang dangkal. Di sini, dulu, aku bermain-main. Saling mencipratkan air. Tertawa bersama. Bersama Dendy. Karibku yang kini telah berpulang.

***

Hari ini, Sabtu kelabu. Hujan yang sedari tadi pagi jatuh, masih mengguyur. Meski kini hanya tinggal rintiknya saja. Dengan berbekal sebuah payung, aku berjalan keluar rumah, menembus rintik hujan yang jatuh. Tak kupedulikan teriakan ibu yang melarangku pergi. Aku terus saja berjalan menembus hujan yang kini kembali jatuh dengan derasnya.
Langkahku baru terhenti saat aku tiba di depan toko bunga. Mbak Adel yang melihatku dari balik kaca tokonya segera berjalan menuju pintu toko yang terbuka dan berteriak memanggil namaku.
“Hujan-hujan gini, kamu kok nekat sih May.” ujar Mbak Adel seraya membungkus sebuah mawar putih dengan plastik bening.
Aku hanya diam dan mengamati pekerjaannya membungkus mawar pesananku itu dengan seksama. Sesekali kuusapkan tanganku pada cangkir berisi teh hangat pemberian Mbak Adel untuk mengusir hawa dingin yang mulai mendera. Teh itu baru kuminum saat Mbak Adel menyelesaikan pekerjaannya. Setelahnya, segera kuraih mawar itu dan mengulurkan beberapa lembar uang pada Mbak Adel.
“Nggak usah. Buat kamu aja.” tolak Mbak Adel, halus.
Aku menggelengkan kepala pelan. Kuletakkan uang itu di meja dan aku pergi. Kembali berjalan di tengah deras guyuran hujan. Begitu derasnya hingga bajuku basah kuyup. Tubuhku mulai menggigil kedinginan. Aku mempercepat langkahku, setengah berlari. Ketika hampir tiba di rumah, aku berbelok menuju rumah kecil di pinggiran desa. Itulah rumah Mak Wayan.
Begitu aku tiba, Mak Wayan menyambutku dengan senyum hangatnya. Aku membalasnya dengan senyum samar. Diangsurkannya keranjang kecil berisi kelopak mawar merah padaku. Keranjang yang sehari sebelumnya kuberikan padanya, berikut uang sebagai ganti kelopak-kelopak mawar yang kini memenuhi keranjangku.
Ya. Mak Wayan adalah penjual bunga. Tapi tidak seperti Mbak Adel yang menjual bunga potong. Atau pun Pak Rudi yang menjual bunga hidup. Mak Wayan menjual bunga untuk keperluan orang yang sudah meninggal. Orang yang sudah pergi. Jauh dari kehidupan duniawi.
Segera kuterima keranjang kecil itu. Setelah berpamitan, aku segera pulang. Begitu aku sampai di rumah, kudengar omelan ibu karena aku hujan-hujanan. Namun, omelan ibu terhenti saat wajah teduhnya menatap wajahku yang lelah. Yang jelas-jelas terlihat letih. Dan pandangannya jatuh pada benda yang kubawa.
“Maya?”
“Maaf. Tapi May nggak bisa lupa. Hari ini tepat setahun kepergian Dendy.”

***

Senja yang biasanya berwarna jingga keemasan, kini agak gelap. Tertutup awan kelabu, sisa hujan tadi siang. Hujan sudah benar-benar berhenti saat kulangkahkan kaki menuju peristirahatan Dendy. Dengan tubuh menggigil, aku menyambangi makam Dendy.
Kupanjatkan doa sembari bersimpuh di samping nisan putih itu. Lalu kutaburkan kelopak mawar di atas pusaranya. Mataku menerawang jauh. Jauh.... Saat waktu masih mendekap Dendy di dunia ini.

***

Dendy adalah karibku sejak kecil. Sampai mendekati saat terakhirnya pun hubungan kami tetap seperti itu. Namun, rasa di hatiku tak lagi sama. Entah sejak kapan, rasa sayangku sebagai sahabat berubah. Aku menyayangi Dendy lebih dari sekedar sahabat. Namun, aku menyimpan rasa ini rapat-rapat. Karena aku tak ingin Dendy menjauh. Bagiku cukup untuk selalu ada di samping Dendy.
Namun bagi Dendy berbeda. Tanpa kusadari, Dendi sering jalan bersama Ria. Gadis pindahan di desanya. Ada perasaan yang menyergap batinku erat. Cemburu. Semakin hari rasa cemburu ini semakin besar. Lalu merebak menjadi sebuah pertengkaran yang membuatku urung bertemu dengan Dendy. Berhari-hari aku menghindarinya. Dendy yang mengenal baik siapa aku, membiarkanku. Menunggu saat amarahku benar-benar reda. Barulah ia akan datang padaku. Tepat saat hari kepergiannya. Tepat saat ia mengatakan semuanya.
“May.” panggil Dendy putus asa.
Sudah lebih dari setengah jam yang lalu kami duduk di pinggiran sungai. Sungai yang memisahkan desaku dengan desa Dendy. Selama itu pula, Dendy mencoba membujukku agar mau bicara. Membicarakan masalahku padanya, yang menjadi pemicu pertengkaran kami. Namun aku tetap bungkam. Hanya menggeleng, mengelak pertanyaannya.
“May...”
“Apa sih Den. Udahlah, lupain aja.” sahutku singkat. “Ngomong-ngomong, gimana elo sama Ria?” tanyaku getir. Dengan hati-hati kuarahkan kakiku menuju batu-batu besar di pinggir sungai. Nampak arus sungai yang tidak begitu tenang.
“Ria? Emangnya Ria kenapa?” tanya Dendy tak mengerti.
“Bukannya elo udah jadian ma dia?”
Dendy tersentak. Detik berikutnya ia menghampiriku lalu mengeluarkan sebuah buku bersampul cokelat dari balik kemejanya dan menyerahkannya padaku. Kuterima buku itu dengan ragu. Dengan pandangan tak mengerti. Tepat saat lembar pertamanya kubuka, sesuatu yang mengejutkanku, keluar dari mulut Dendy.
“Yang gue sayang itu elo.”
Secepat kilat kupandangi Dendy. Melihat jauh ke dalam matanya. Hanya ada warna tanah yang tenang. Sedikit pun tak menyiratkan kebohongan.
“Ria itu sodara jauh gue. Baru beberapa bulan belakangan ini dia pindah ke sini, setelah nyelesein sekolahnya di Bogor. Kalo akhir-akhir ini lo liat gue sering jalan bareng Ria, itu karena gue terusik dengan hubungan kita.”
“Gue sadar May. Sejak pertama kita dekat, gue sayang elo. Dan gue yakin selamanya elo ada di sisi gue. Tapi semakin hari, rasa takut gue akan kehilangan elo semakin gede. Apalagi elo tumbuh jadi cewek yang manis.” ujar Dendy dengan pandangan menerawang.
“Gue nggak mau elo pergi dari gue. Makannya gue ceritain ini ke Ria.  Gue minta pendapat dia. Karena menurut gue, Ria punya pemikiran yang dewasa dan bijak. Dia yakinin gue buat ngungkapin semua ke elo. Tapi sayang, ketika gue siap untuk nyatain semuanya ke elo. Kita malah bertengkar nggak karuan. Sorry May kalo gue bikin elo marah. Tapi gue sayang elo.”
Senyum Dendy mengembang. Pandangannya mengarah tepat ke dalam mataku. Ternyata perasaan kami satu. Kubalas senyumnya. Kuraih tanganya untuk duduk di sampingku.
“Elo sayang banget ya sama gue. Sampai-sampai foto jadul gini masih ada.” ujarku seraya menunjuk salah satu foto kami berdua saat masih kecil.
“Iya. Emang kenapa?” tanya Dendy tajam.
Aku hanya tersenyum. Kukecup pipinya dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“Gue juga sayang elo, Dendy.”
Setelah itu aku berlari menghindari tatapan Dendy. Meninggalkan Dendy di tepi sungai itu. Tentu saja Dendy tidak tinggal diam. Iapun juga beranjak untuk mengejarku. Tapi sesuatu menahannya. Sesuatu itu jatuh dari saku celananya. Bergulir masuk ke dalam sungai. Tenggelam, lalu timbul kembali, terseret arus sungai. Masih di pinggiran, pikir Dendy saat itu. Dan Dendy pun memilih untuk mengejar benda itu.
Aku menghentikan langkah. Dengan nafas tersengal-sengal, aku menengok ke belakang. Namun Dendy tak nampak di sana. Mungkin saja Dendy pulang karena tidak bisa mengejarku yang memang jago lari ini. Dan dengan hati bahagia aku berjalan masuk ke rumah sambil menenteng buku bersampul cokelat pemberian Dendy.

In Death, Love....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang