Aku Mencintaimu, Bagaimanapun Keadaannya

121 3 0
                                    

Hanya karena dia mencintaiku, aku pun jatuh cinta padanya. Melupakan pesan para orang tua. Cari yang sudah kerja. Pertimbangkan bibit, bebet, dan bobotnya. Yang usianya lebih tua, lebih dewasa, bisa ngemong. Namun, semua petuah itu menguap seiring cinta yang ia jejalkan di setiap sudut hatiku. Ya, cinta yang kemudian terasa hambar. Bunga-bunga kasih yang dulu membara, kini layu sudah. Akar rasa yang dulu menancap di dada, tumbang sudah. Cintaku padanya telah pergi. Sementara cintanya padaku tetap putih, bahkan mengakar kuat di jiwanya, dan demi mencintaiku dia rela hatinya kusakiti. Pernah kutanyakan, berkali, padanya.
"Kenapa mencintaiku yang slalu menyakitimu?" tanyaku di siang yang muram.
Kala itu, di bawah teduh pohon maple, setelah pertengkaran hebat kita yang kesekian.
Kau tersenyum. "Seandainya aku tau jawabannya."
"Kan kau yang merasakan. Harusnya kau bisa menjawabnya." tukasku kesal.
"Mungkin karena..."
"Jangan katakan karena kau mencintaiku." sergahku.
Kau tak berkata apa-apa lagi. Kau lepas jaketmu dan menggunakannya untuk menutupi kepalaku. Gerimis perlahan datang.
"Ayo pulang. Kau benci hujan kan?" ajakmu sembari merangkulku. Melindungiku dari gempuran gerimis yang semakin deras.
Kulangkahkan kaki. Setengah berlari mengimbangi langkah panjangmu. Dan di antara gerimis, derap langkah kita, dan pelukan hangatmu, kau mengatakannya.
"Aku mencintaimu. Sangat. Itu alasanku dan jangan pernah lagi tanya kenapa."
Hujan memang dingin, tapi hatiku menghangat, meski sedikit.

***

"Coklat?"
Aku membisu.
"Pink rose?"
Aku membuang muka.
"Teddy bear?"
Kuambil.
"Ngomong dong."
Aku diam seribu bahasa.

"Ya ampun, Maria." Kau hela nafasmu dalam. "Aku minta maaf. Aku nggak maksud batalin janji kita, aku..."
"Kamu penipu." potongku sembari meninggalkanmu di teras rumah.

***

"Doain aku diterima kerja ya. Mau tes nih." pamitmu padaku di suatu pagi lewat telepon.
"Ya," jawabku pendek.
Aku terlalu pesimis untuk sekedar bilang: iya yang semangat ya, moga lolos tesnya.
"Aku berangkat dulu ya sayang."
"Oke."
Telepon kututup. Sepihak. Kuhempaskan tubuh ke kasur. Apa maumu Maria? tanyaku pada diri sendiri. Aku ingin seseorang yang lebih. Pandai, cakap, punya tubuh atletis seperti Taylor Lauthner. Tidak seperti Sammy. Dia bukan pacarku. Bukan. Tapi kami punya hubungan dekat. Yah, bisa disebut HTS. Hubungan Tanpa Status. Karena satu-satunya hubungan yang kubutuhkan hanyalah pernikahan. Sedang Sammy, belum mampu untuk mewujudkannya. Dan aku sangat sangat lelah untuk menunggunya.

***

Tamparan itu melayang ke pipiku. Aku jatuh tersungkur karenanya. Tak ada air mata. Tak perlu menangis karena lelaki pecundang seperti Sammy.
"Jangan pernah temui aku Sam." ujarku datar seraya bangkit dan pergi meninggalkannya.
"Gue juga nggak mau nemui cewek pendusta kayak lo."
Aku terus melangkah tak peduli.
"Cewek matre sialan kayak lo yang ngabisin duit gue!"
Refleks aku berbalik. Amarah sampai di ubun-ubun.
"Yang elo abisin itu uang nyokap lo idiot!" teriakku penuh amarah. Sedangkan Sammy hanya bisa terdiam menyadari kesalahannya. "Cewek mana yang mau sama elo yang nggak kerja hah? Selama ini gue menutup mata atas kelemahan lo. Gue support elo abis-abisan tapi elo nggak bisa berubah! Dan ketika gue lelah minta kita udahan, lo mana mau denger?"
"Lo nggak bisa ngikat gue kayak gini. Bagi gue, hubungan kita udah nggak ada! Udah mati! Jadi terserah gue mo deket sama siapa! Dan tamparan ini!" kutunjuk bekas tamparannya di pipiku. Meski tak melihatnya, aku tau ada bekas merah di sana karena rasanya sangat nyeri. "Akan gue inget seumur hidup. Bagi gue elo udah mati!"

***

Lima tahun berlalu. Aku kehilangan apa pun dulu yang pernah ada dalam genggamanku. Ya. Aku lelah. Sedang kematian yang kutakutkan kian mendekat.
"Kanker." Dokter memvonis. "Masih awal."
"Tapi kebanyakan berakhir kematian dokter." Aku putus asa.
"Maria." Dokter melepas kacamata minusnya. "Kita bisa membuat sel ini diam membeku dan membuat sel kehidupanmu mendominasinya."
"Bisakah?" tanyaku tanpa warna. Aku terguncang.
Dokter muda itu menggenggam tanganku. "Aku akan membantumu bangkit. Percayalah."
Kanker itu hidup di tubuhku. Namun aku belum mampu menjinakkannya. Iya merampas semuanya terutama bahagiaku.

In Death, Love....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang