Chapter I

69 2 0
                                    

OH MY GOD! THIS IS MY VERY FIRST STORY GUYSSS! I hope you guys enjoy it! Happy reading ;)

TOK TOK... TOK TOK TOK... TOK TOK TOK TOK...

"MAS ARVINNNNN, BERISIK BANGET SIH??? REYSIA LAGI BELAJAR TAU! BESOK UJIAN 2 MATKUL GILAAAA!!!" Untuk kesekian kalinya Reysia meneriaki abangnya yang sudah hampir 24 jam berkutat dengan perkakasnya dan mencoba membuat bangku "custom" pesanan kliennya. Oh, that damn chairs are gonna make me fail! Batin Reysia. Reysia mencoba mencari keberadaan Mas Arvin dari balkon kamarnya yang menghadap langsung ke taman belakang rumah, tempat dia biasa membuat semua furniturnya kalau sedang pulang ke rumah. Arvin, kakak kedua Reysia, memang lebih banyak menghabiskan waktu di studionya, tempat dia membuat dan menyimpan semua furniture hasil karyanya. Ini sekalinya balik bukannya istirahat malah ngerusuh di belakang rumah! Huh!

"BAWEL AH! Belajar tinggal belajar kali nggak usah pake teriak- teriak!" Arvin mendongak ke arah balkon kamar Reysia sambil melempar kain lap yang dia pegang, yang tentu saja tidak dapat mencapai lantai 2, dan kembali terjatuh ke tanah. Reysia balas melemparnya dengan pulpen yang dia genggam dari tadi dan tepat mengenai kepalanya. Yes!!! "HEH! KALO AKU GAGAR OTAK KAMU NGGAK KU BAGIIN JATAH UANG JAJAN YA SETAUN!" Sahut Arvin sambil mengelus kepalanya yang jadi korban lemparan pulpen Reysia.

"HUUU CULUN NIH NGANCEMNYA PAKE DUIT!" Reysia menjulurkan lidah ke arah Arvin. Enaknya punya dua abang yang udah pada kerja ya itu, ikut kecipratan duitnya kalo mereka pada abis gajian atau dapet orderan bikin furnitur. Rasta, kakak pertama Reysia, bekerja sebagai konsultan konstruksi di perusahaan yang dia rintis bersama kedua sahabatnya. Sementara Arvin mulai membuka bisnis furniturnya sediri setahun setelah lulus kuliah karena katanya dia suntuk jadi pekerja kantoran. Emang dasarnya dari kecil udah kayak cacing kepanasan, engga pernah bisa disuruh duduk diem sebentar aja. Sebenarnya Reysia juga sering ikut membantu Arvin di studionya dan sangat menyukai seluruh furnitur hasil karya abangnya itu (selain itu bayarannya lumayan juga buat tambahan uang jajan). Furnitur yang dibuat Arvin memang berbeda dengan yang biasa dijual di pasaran, karena dia lebih sering membuat custom furniture hasil pesanan para pelanggannya. Itulah yang membuat furniture Arvin jadi banyak dicari- cari orang, karena dia membuatnya secara limited dan menyesuaikannya dengan permintaan client-nya.

"NASIB PUNYA ADEK MATA DUITAN!" Sahut Arvin.

"NASIB PUNYA ABANG KAYAK CACING KEPANASAN!" Balas Reysia.

"DULU BUNDA KALIAN NGIDAM APA SIH KOK PUNYA ANAK SENENGNYA TERIAK- TERIAK KAYAK DI HUTAN?!" Ayah tiba- tiba ikutan menyahut dan sedetik berikutnya ikut muncul di taman dengan kedua tangan dipinggang, khasnya kalau sedang menegur anak- anaknya. Lalu ia ikut mendongak untuk melihat Reysia yang masih berdiri di balkon kamarnya. "Reysia, besok katanya kamu ada 2 ujian? Kok hari gini masi ngerumpi disini?"

"Mana ngerumpi, Yah! Tanya tuh sama anak Ayah yang di bawah. Dari tadi pagi berisik banget ngetok-ngetok melulu. Kok belom ada tetangga yang kesini bawa celurit sih?" Jawab Reysia. Ayah cuma tersenyum sambil kembali geleng- geleng kepala.

"Iya, bawa celurit mau ngegorok kepala kamu!" Cibir Arvin. Reysia kembali melemparkan penghapusnya yang tinggal setengah ke arah Arvin, dan membuatnya mendelik kesal ke arah Reysia. "Ini alat tulis daripada dibuang- buang mending disumbangin tau nggak?"

"Oke anak- anak sebelum Pak RT kesini buat ngusir keluarga kita dari komplek, mendingan kalian pada cepetan ke dapur, nanti spaghetti buatan Chef Darma keburu dingin!" Potong Ayah sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Arvin, cepetan beresin dulu itu alat- alat kamu, udah mau maghrib. Lanjutin besok aja. Kasian itu adikmu mau belajar jadi nggak bisa juga, malah teriak- teriak kayak anak setres. Nanti malah dikira yang enggak- enggak lagi sama tetangga."

For Whatever It's WorthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang