APARTEMEN GUE KAN DISINI JUGA!!"Apartemen lo di gedung ini?" tanya gue.
"Iya." Dan gue hanya bisa ber-oh-ria padahal aslinya gue kaget setengah mati. Jadi selama ini kita tinggal satu gedung? Unbelieveable.
Setelah memarkirkan mobilnya, gue dan Ari turun dan menuju lift. Gue lihat Ari menekan nomor 6 yang berarti apartemen nya ada di lantai 6. Di dalam lift, gue mencoba bertanya pada Ari, "Lo biasanya tinggal disini atau cuma kadang – kadang aja?".
"Gue tinggal disini." Dan gue kembali ber-oh-ria. Kalo kita tinggal satu gedung, tapi kenapa gue gak pernah lihat dia pas berangkat atupun pas pulang sekolah. Lift terbuka dan kita sudah sampai di lantai 6. Gue hanya mengikuti Ari dari belakang. Ari berhenti di depan pintu kamar nomor 621. Setelah memasukkan password, kita berdua langsung masuk dan Ari mempersilahkan gue duduk.
Keadaan apartemen nya gak jauh beda dari mobilnya. Kacau. Bola basket di sofa, gitar di lantai, partitur – partitur di atas gitar dan... WOW! Dia punya Grand Piano di apartemen nya. Di atas Grand Piano nya juga banyak partitur berserakan. Di sebelah Grand Piano nya terdapat banyak tulisan di kaca pembatas. Sepertinya Ari menambah kegunaan kaca pembatas antara ruang tamu dengan balkon menjadi papan tulis juga. Dan tulisan – tulisan yang ada di kaca itu seperti lirik lagu, tapi gue gak pernah tau lagu itu, padahal gue pecinta musik.
"Puas ngeliatinnya??" tanya Ari dengan nada sarkastik.
"Itu lagu apa?" tanya gue to the point sambil menunjuk kaca pembatas.
"Lagu ciptaan gue." WHAT! Demi semua novel, makanan, dan soal matematika yang ada di bumi, Ari nyiptain lagu?! Dan gue hanya bisa memasang wajah terkejut sekaligus cengo gue. Eh tapi jangan salah, gini – gini gue masih cantik.
"Mukanya biasa aja dong." Ucap Ari sambil tertawa kecil. Anjir! Dia tambah ganteng kalo lagi senyum ataupun ketawa. Dan bukannya sadar, gue malah terpana sama dia. Sadar Ara!
"Kok malah bengong sih?" tanya Ari.
"E-eh nggak k-kok." jawab gue rada gelagapan.
"Sebelum belajar, gue pengen denger lo nyanyiin lagu lo itu dong." pinta gue.
"As you wish." jawab Ari. Eh... Eh... Loh kok dia jadi baik gini sama gue? Padahal gue kira dia bakal nolak mentah – mentah permintaan gue.
Ari akhirnya mengambil gitar yang ada dilantai, duduk disebelah gue, dan mulai memetik gitarnya. Gue duduk disebelahnya sambil memperhatikan dia yang nampak nya terlarut dalam nyanyian nya sendiri. Saat sampai dibagian reff yang kedua, gue mencoba mengikuti Ari bernyanyi sambil melihat lirik di kaca. Karena sebelumnya gue sudah mendengar dia bernyanyi dibagian reff pertama, insting musik gue langsung bekerja dan menemukan suara 2 yang pas untuk reff nya dan itu yang sekarang gue nyanyikan dengan Ari.
Ari sedikit terkejut saat mendengar gue menyanyikan lagunya. Tetapi tetap dia lanjutkan dan akhirnya lagunya pun selesai.
"Respon lo bagus." ucap Ari setelah lagu berakhir.
"Lo gak tau apa gak ingat kalo salah satu hobby gue itu dengerin musik pake earphone yang lo ambil." ucap gue sekalian nyindir.
Ari yang sepertinya tau gue sindir hanya menganggukkan kepalanya dan berkata, "Ingat kok.".
"Yaudah, ayo mulai belajarnya." ucap Ari. Gue dan Ari memulai belajar matematika dan beberapa kali mengobrol untuk menghilangkan kepenatan. Gue gak sadar ini udah jam 9 malam dan akhirnya Ari yang menyudahi.
"Ini udah malam. Gue antar lo pulang." ucap Ari sambil bangkit dari duduknya.
"E-eh gausah. Gue bisa pulang sendiri." jawab gue cepat. Ya bisa lah, masa pulang cuma beda 1 lantai aja gabisa, batin gue.
"Perempuan gak baik pulang sendirian malam – malam." Kemudian Ari berdiri, mengambil kunci mobil dan jaketnya, lalu berjalan menuju pintu keluar. Gue hanya bisa ikut berdiri, mengambil tas gue, dan berjalan ke arah pintu. Sejak kapan Ari jadi baik gini ke gue? Baper, aduh. Jangan baper Ara, jangan baper.
"By the way, sebenernya gue tinggal di gedung ini juga. Lantai 7. Jadi lo gak perlu repot – repot nganterin gue." jawab gue sambil melangkah keluar apartemen Ari.
"Yaudah gak apa – apa. Gue anter sampe depan kamar apartemen lo." Buset, keras kepala amat ini anak. Yaudah gue gak bisa apa – apa lagi. Gue dan Ari berjalan menuju lift, dan Ari menekan nomor 7.
Pintu lift perlahan terbuka. Gue berjalan lebih dulu menuju apartemen gue. Gue berhenti di kamar nomor 712.
"Udah sampe. Lo balik aja." ucap gue pada Ari.
"Masuk aja dulu." ucap Ari. Gue hanya bisa mendengus kesal sebelum akhirnya memilih masuk daripada berdebat dengan Ari. Sebelum gue benar – benar menutup pintu, gak lupa gue ucapkan terima kasih.
"Thanks, Ar."
"Anytime." Dan gue menutup pintu gue.
~~~
Gue pagi ini terbangun jam 5. Gue langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan Sholat Subuh. Gue kemudian mandi dan sarapan. Dan gak terasa ini sudah jam 6. Gue bersiap – siap untuk berangkat ke sekolah. Sebenarnya gue bisa aja berangkat ke sekolah jam 6.45 karena bel sekolah berbunyi jam 7, sedangkan jarak apartemen gue ke sekolah termasuk dekat.
Ouch, gue teringat sesuatu. Semalam gue lupa mengambil earphone gue dari Ari. Ah, lebih baik sekarang gue berdoa semoga Ari belum berangkat sekolah atau setidaknya ia tetap membawa earphone gue ke sekolah. Gue keluar apartemen dengan sedikit terburu – buru. Sampai ada satu suara yang mengagetkan gue.
"Lo memang gak liat atau pura – pura gak liat?"
Wait, WHAT?! Gue membalikkan badan gue dan melihat Ari sedang bersandar di dinding gak jauh dari pintu apartemen gue. Jangan tanya gimana ekspresi gue sekarang.
"Lo ngapain disini?" tanya gue dengan sedikit kaget.
"Mau berangkat bareng lah."
"Lo disitu sejak kapan?"
"Setengah 6."
"What?! Ar!! Bilang gue dulu lah se-enggak nya. Lo kan jadi nunggu setengah jam. Lagian ngapain berangkat bareng sih?"
"Gak apa – apa. Pengen aja. Lo jadi irit ongkos juga kan?" tanya Ari. Skakmat. Gue setiap pagi memang terbiasa naik bus buat ke sekolah.
"Ugh... yaudah. Earphone gue mana?" tanya gue.
"Hmm... dimana ya?" ucap Ari sambil berpura – pura mengingat. Elah ni anak lemot banget sii. "Gak tau deh. Kayaknya ke buang." ucap Ari tiba – tiba.
"Loh, kok gitu sih? ucap gue dengan nada suara yang ditinggikan.
"Santai. Gak usah sensi. Pasti gue ganti kok." ucap Ari. Dan gue hanya diam. "Gitu aja ngambek," tambah Ari. Kalian tau gimana perasaan gue saat ini? Saat ini gue rasanya mau nyabik – nyabik Ari jadi tinggal kepingan kecil. Dan gue semakin menekuk wajah gue. "tapi lo lucu kalo ngambek." sambung Ari. Deg! Otak gue berhenti bekerja selama sepersekian detik. Damn! Gue mulai baper ke Ari. Masa gini doang lu baper sih, Ra! Cemen banget.
Dan sepanjang perjalanan menuju ke parkiran, gue hanya terdiam. Keadaan di dalam mobil pun sama saja, hening. Tak ada yang mencoba memulai percakapan. Sampai akhirnya mobil Ari berhenti. Gue baru akan membuka pintu mobil, tetapi Ari terlebih dulu mengunci pintunya. Gue menaikkan alis seakan bertanya, apa? "Hari ini balik bareng. I'll show you something." ucap Ari. Dan gue hanya mengangguk. Kemudian Ari membuka kunci pintu dan gue segera keluar dari mobilnya. Yang gue butuhkan saat ini hanya satu, udara untuk bernapas setelah sekian lama sesak oleh keadaan mobil yang -menurut gue- mencekam.
~ ~ ~
Yeeaay! Ini chapter selanjutnyaaa! Cukup panjang ga chapternya? Semoga betah sama ceritanya okeeeyyy! Sorry for typo(s)!
love, a h d a
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Boyfriend
Teen Fictionlove at first sight? apa itu? gak ada kata - kata itu di dalam kamus Ara. pacaran? apa itu? gak ada kata itu dalam kamus Ari. menyerah? apa itu? gak ada kata itu dalam kamus Ano. kisah tentang 3 orang remaja yang masih harus belajar tentang banyak h...