Berdua, Bunda dan Ola sedang dalam perjalanan menuju SMA Garuda, sekolah baru Ola. Seperti normalnya remaja, rasa takut untuk menjalani hal baru pasti ada. Pikiran Ola dipenuhi banyak pertanyaan aneh. Gimana kalau nggak punya teman?, Gimana kalau anak kelas nggak suka kehadirannya?, Gimana kalau gurunya galak? Gimana kalau kantin sekolah barunya nggak jualan hot chocolate? Gimana kalau... Gimana kalau... Gimana kalau. Entah berapa banyak pertanyaan yang lalu lalang dibenaknya.
"Nanti kamu baik-baik, ya di sekolah," ucap Bunda memecah lamunan Ola. Ia berbicara tanpa melirik gadis itu sedetik pun karena fokus menyetir. Ola memang belum membawa kendaraan sendiri karena umurnya belum memasuki 17 tahun. Tentu saja ia belum memiliki lisensi.
"Iya, bun," jawabnya singkat. Jawaban iya memang kadang bukan untuk meng-iya-kan sebagai bukti persetujuan. Tapi, lebih sering untuk menghindari deretan pertanyaan yang tidak diinginkan.
"Kalau udah pulang, telepon Bunda atau Galang, ya biar dijemput."
"Iya, Bunda."
"Jangan pulang naik angkutan umum dulu nanti kamu nyasar."
"Iya-iya. Ola bukan bayi lagi." Ola memutar bola mata menanggapi ucapan Bunda pagi ini. Mendengus singkat dan mengarahkan pandangannya keluar kaca mobil.
Sekolah Ola dan Galang memang berbeda. Galang memilih sekolah di SMA Rajawali karena salah satu teman dekatnya saat SD juga sekolah di sana. Alasan lainnya yaitu, Galang ogah satu sekolah dengan Ola, gadis penyuka chocolate dan keju yang suka menyendiri itu. Simpel, dia tidak mau masa SMA-nya yang indah dihabiskan untuk menemani Ola yang asosial itu. Walaupun dalam hatinya, ada dorongan untuk melindungi adik satu-satunya.
"Ola berangkat dulu ya, Bun," pamit Ola sambil menyalami tangan Bunda dan cipika cipiki, sesaat sesudah mobil Bunda berhenti di depan gerbang.
"Ingat pesan Bunda, ya." Bunda mewanti-wanti sambil menunjukkan telunjuknya.
Ola urung membuka pintu mobil dan berbalik menatap Bunda malas. "Iya-iya, nanti Ola telepon kak Galang."
"Eh ini beda lagi," bantah Bunda.
"Apa lagi, sih, Bun?"
"Ber-so-si-a-li-sa-si. Ingat itu! Masa iya, kamu sekolah gak pernah punya teman deket. Manusia itu makhluk sosial, saling membutuhkan. Jangan selalu merasa apa-apa bisa sendiri, ya, sayang?"
Ola menghela napas. "Bunda sama kak Galang itu sama aja. Aku, tuh juga lagi berusaha tau. Bunda yang bilang sendiri kan, harus selektif kalau pilih teman. Apalagi teman dekat. Sekarang, tuh banyak teman yang manis di depan doang. Tapi, busuk di belakang."
"Kok jadi kamu yang ceramahin Bunda?"
"Biar Bunda juga lebih selektif lagi kalau nyari teman buat gosip."
"Yee... emangnya Bunda anak sekutil kamu yang masih labil? Lagian Bunda aja gak pernah gosip."
"GOSSIP. Satu kata yang udah melekat pada diri para perempuan dan susah dihindari. Iya Bunda itu gak pernah. Gak pernah lupa, kan maksudnya?" Ola terkekeh.
"Iya-in aja kan, ya." Bunda memutar bola mata.
Ola tertawa pelan kemudian melirik jam warna biru muda yang melingkar di pergelangan kirinya. "Udah, ya, Bun. Ola masuk dulu takut telat. Dahh... hati-hati, Bunda."
Ola membuka pintu mobil dan menutupnya seraya melambaikan tangan ke arah mobil, saat mobil itu melaju pergi.
![](https://img.wattpad.com/cover/105267309-288-k66276.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REVIOLA
Teen FictionViola Putri Mahesa atau Ola. Gadis 16 tahun, penyuka chocolate dan keju itu harus dihadapkan dengan Revo, pentolan SMA Garuda yang mengaku sebagai titisan anak hujan. Keduanya bertemu saat tak sengaja, Ola melanggar perjanjian yang telah dibuat oleh...