1: New Beginning

4.8K 222 13
                                    

Verisya

Aku menatap sendu langit Jakarta melalui jendela pesawat. Sudah 8 jam aku duduk di sini, dan pesawat yang aku tumpangi akan segera landing.

Dengan cekatan aku membuka aplikasi Line lalu mengetikkan sesuatu pada Iphone 7s rosegold yang papa beri saat aku akan tinggal di Washington DC setahun yang lalu.

Verisya G. El Risjad: Gue udah mau sampe. Lo udah pada stand by kan bang?
Rama P. El Risjad: udah tuan putri
Rama P. El Risjad: sent a photo

 El Risjad: sent a photo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Verisya G. El Risjad: Sok ganteng ew, btw gue kangen:(
Rama P. El Risjad: Simpan hp lo sekarang, siap-siap buat landing. Gue gamau lo ribet nanti garagara line-an sama gue. Urusan kangen kita puasin di rumah, oke? Take care, kami tunggu❤
Verisya G. El Risjad: Duh si abang bikin adeknya makin sayang deh.
Read

Sweet banget kan? Parah sih memang, kalo aku bukan adiknya, sudah dapat dipastikan aku bakal jatuh cinta padanya.

Suara dari pramugari memberitahukan bahwa kami sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Aku pun langsung membereskan pakaian, mengambil barang, dan menarik napas dalam-dalam.

This is my new beginning of life.

Siap tidak siap, aku harus menjalani kehidupanku sekarang dengan sebaik mungkin. Aku harus mampu bangkit dari trauma yang kualami. Aku juga harus bisa melupakan dia yang pernah menemaniku selama setahun di Amerika.

With or without him, I must be happy. Itulah nasihat bunda yang selalu aku ingat sampai detik ini. Ah, aku jadi kangen sama bundaku itu.

"DEDEKKKKK!" Teriakan dari seorang laki-laki yang sangat kukenali membuyarkan lamunanku. Kalau bukan karena teriakannya, mungkin aku sudah menabrak ibu-ibu yang sedang berjalan di depanku.

"Setahun enggak ketemu kenapa makin alay aja sih, Bang." ucapku sebal sambil membalas pelukannya. Ya, dia adalah abangku. Bukan Bang Rama, tapi Bang Zein. Aku sudah cerita kalau aku punya 2 abang kan? Nah yang ini, nama lengkapnya Zein Arashdi El Risjad. Pertama kali orang mendengar namanya, mungkin akan membayangkan sosok Zayn Malik yang ganteng, cool, dan perfect. Tapi mungkin karena beda tulisan, jadi karakternya juga beda kali ya. Si Zein ini adalah abang ter-alay, ter-jayus, dan ter-absurd sedunia. Tapi meski begitu, harus kuakui bahwa aku merindukannya.

"Bang Rama kenapa diem aja?" tanyaku saat melihatnya hanya menatap kami- aku dan Bang Zein- berpelukan.

Dengan gaya cool-nya yang mampu meluluhlantakkan hati perempuan, dia menjawab santai. "Udah selesai pelukannya? Gue juga mau kali, Zein." Tukasnya lalu memelukku erat sekali. Ia juga mengacak rambutku dengan gemas, kangen katanya.

Setelah selesai dengan segala adegan berpelukan itu, kami pun langsung bergegas ke parkiran. Aku berjalan dengan santai, sementara koperku dibawa oleh dua bodyguards andalanku. Hehehe.

BMW hitam milik Bang Rama pun meluncur mulus di jalanan ibukota. Namun Bang Rama yang saat itu sedang nyetir tampak mengerutkan alisnya.

"Lo lagi mikirin apaan bang? Serius bener tuh muka." kataku penasaran.

"Mikirin ceweknya tuh. Doi bingung soalnya bentar lagi mau jadi bapak." jawab Bang Zein asal dengan muka innocent-nya. Emang dasar tuh anak, mulut enggak ada saringannya.

Pletak!
Sebuah jitakan berhasil mendarat dengan mulus di kening Zein.

"Kok gue dijitak sih, Bang? Salah gue apa coba?" tanyanya sambil mengelus keningnya yang sudah seluas jagat raya.

"Mulut lo resek sih, Zein. Lo kata gue apaan main hamilin anak orang."

Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka berdua. Tingkah kekanak-kanakan yang selalu aku rindukan. My kind of moodbooster.

Tiba-tiba, Bang Rama membelokkan mobil ke arah kiri. Itu artinya kami tidak menuju ke rumah. Eit, jangan salah. Meskipun sudah setahun aku meninggalkan Jakarta, tapi jelas aku masih ingat arah rumahku.

Apa-apaan ini? Aku mau dibawa ke mana?

"Bang, kita mau ke mana?" tanyaku pada Bang Rama yang sedang fokus menyetir. Jalanan macet parah.

"Ke apartemen." jawab Zein santai.

Keningku mengerut. "Kenapa enggak langsung ke rumah aja? Gue capek tau di pesawat, need home and my bedroom please. Lagipula, gue kan kangen sama papa."

Tidak ada jawaban dari kedua abangku itu. Pada tuli apa gimana sih?

"Gue juga kangen banget sama bunda. Mau peluk papa, mau peluk bunda." Aku berusaha memelas dengan nada seimut mungkin agar mereka segera berbalik ke rumah.

Tapi hasilnya, nihil. Bahkan, aku bisa melihat jelas perubahan raut wajah keduanya. Tidak ada raut bahagia di sana.

Tunggu, apa ada yang salah dengan kalimatku tadi?

*****

Akhirnya part 1 dipublish juga yeayy. Silahkan dibaca ya, teman-teman. Jangan lupa vote dan comment-nya juga ya hehe🙏🏻 See you at the next part

Kissing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang