7: Pengorbanan Pertama

2.8K 134 12
                                    

Verisya

"Halo semuanya, namaku Verisya Galea El Risjad. Panggil Isya aja. Aku pindahan dari Washington DC, Amerika Serikat. Semoga kita bisa menjadi teman baik ya." ucapku sopan pada mereka- murid kelas XI Unggul 1- yang masih menatapku dengan takjub. Apa yang salah dariku? Apa aku mengenakan seragam sekolah lain? Atau apa aku menggunakan arang sebagai bedak?

Guru perempuan yang tadi mendampingiku pun ikut tersenyum dan memberikan nasihat. "Ibu enggak mau dengar ada kasus bully ya. Verisya ini selain anaknya cantik, juga pasti baik hati. Dan semoga kedatangan dia bisa menambah kekompakan kelas ini ya."

Teman sekelasku hanya mengangguk setuju. Aku bersyukur, setidaknya tidak ada tatapan sinis yang mereka lemparkan padaku. Itu artinya aku diterima dengan cukup baik di kelas ini.

"Nah Verisya, kamu duduk di bangku yang kosong itu ya. Ibu tinggal dulu." ucap guru perempuan itu lalu melangkah pergi keluar kelas setelah pamit dengan anak-anak yang lain.

Aku berjalan ke bangku yang ia maksud. Sialnya, di belakangku adalah Abiyyu beserta teman-temannya yang sedari tadi tak berhenti menggodaku. Tapi untunglah di kelas ini ada sahabat perempuanku yang bernama Tamara, Sonya, dan Qory. Persahabatan kami bermula sejak SMP dan masih terus berlanjut hingga sekarang, walaupun setahun yang lalu aku berada di Amerika Serikat.

Baru saja aku akan duduk, mereka sudah langsung memelukku. "Ya ampun Isya gue kangen banget sama lo." kata Tamara. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Lo makin cantik aja astaga. Kapan gue bisa punya body goals kayak lo." ujar Sonya-yang memang mempunyai badan lebar-sambil berdecak kagum. Ia memperhatikan badanku yang memang bisa dikatakan body goals.

"Udah ah pelukannya. Kayak gak jumpa lama aja, kan kita sering skype-an bareng." kataku sambil berusaha melepaskan diri. Aku sangat kesulitan bernapas.

Qory memutar bola matanya kesal. "Ya emang udah lama gak jumpa, Sya. Lo kira setahun gak lama? Lo masih sama kayak dulu ya btw." katanya sambil tersenyum.

"Masih sama kayak mana? Emang lo kira gue bakal berubah kayak apaan? Kayak Kendall Jenner? Ya kali." jawabku.

"Ya maksudnya lo itu masih jadi cewek ceria, supel, dan sangat baik. Eh ngomong-ngomong, lo gimana sama Darren?" tanya Qory.

Aku terdiam.

Dengan mencoba menahan gejolak amarah yang ada di hati, aku berusaha menjawab. "Gue gak tau gimana hubungan gue sama dia."

Mereka menatapku lekat-lekat. "Maksud lo? Jangan bilang kalau lo ke sini tanpa bilang apa-apa ke Darren?" tebak Tamara.

Dan tebakannya 100% akurat.

Aku mengangguk lemah. Sejujurnya, aku malas membahas statusku dengan Darren. Aku benar-benar kehilangan rasa saat ini. Bukan hanya ke Darren, tapi pada lelaki manapun.

Ibaratnya, seperti kehilangan selera untuk mencintai siapa-siapa.

Sonya mengguncang bahuku pelan. "Sya? Lo denger kita? Astaga lo ngelamun."

Aku terperangah. "Hah? Apa? Lo pada bilang apa?"

Sonya berdecak kesal. "Kita nanya apa yang terjadi antara lo sama Darren. Bukannya sebulan yang lalu lo bilang kalau kalian baik-baik aja ya?" tanyanya menyelidik.

"Sebenarnya-"

"Verisya! Ke depan kamu!" Teriakan Pak Jek mengejutkanku. Astaga, sejak kapan guru itu ada di kelas ini? Akibat keasyikan bergosip nih.

Sejenak, aku hanya terdiam sambil menundukkan kepala ke bawah. Astaga Verisya lo bego banget sih jadi manusia, batinku.

"Verisya kamu denger bapak kan? Maju sekarang!" kata Pak Jek lagi dengan rambut belah tengahnya itu.

Kissing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang