Chapter 3

166 14 0
                                    

Sikapku memang dingin dan cuek namun aku cenderung ceplas ceplos. Namun sejak saat itu aku menjadi lebih pendiam. Aku lebih sering diam dan menundukkan kepalaku. Aku takut jika mataku melihat sesuatu secara random bisa-bisa aku melihat hal yang tidak aku inginkan. Seperti saat camping, pada malam api unggun, aku terus saja melihat ke arah pohon yang ada di sebelah kiri tendaku. Dan tiba-tiba, ada sosok nenek setengah bongkok yang juga melihatku. Dia menyeringai manis sambil memegangi tongkat untuk menopang tubuhnya. Wajahnya rusak dengan keriput tak beraturan dan tak lupa muncul tetesan darah yang ada di wajahnya. Makhluk seperti apa itu? Seakan-akan dia memanggil tapi untuk apa? Matanya berwarna merah menyala terus menatapku. Tubuhku yang sedari tadi dirangkul oleh Dave terus saja bergetar. Sontak aku teriak dan teriakanku sukses membuat acara api unggun menjadi canggung. Dave terus saja mengelus punggungku untuk menenangkanku namun aku terus menangis. Anak lain hanya memandangku aneh. Septa mengalihkan perhatian mereka dengan berkata bahwa aku sedang sakit dan meminta untuk melanjutkan acara. Dave membawaku ke tempat lain dan menenangkanku.

"Ini minum dulu, kau tampak pucat"

"Aku takut Dave, dan aku lemas sekali"

"Aku tahu, pasti melelahkan dapat berinteraksi dengan mereka namun kau tidak tahu harus bagaimana kan? Tidak apa-apa, ada aku. Ceritalah padaku, aku mempercayaimu"

Aku bersyukur ada Dave yang dapat mempercayaiku. Sampai saat ini, hanya Dave dan Septa yang mengetahui keadaanku.

"Jelita, kau kenapa? Wajahmu pucat. Kau sakit? Atau bertengkar dengan Dave?"

"Entahlah, aku lemas"

"Sejak 2 bulan setelah camping kau jadi pendiam, ada apa?"

"Aku takut, aku takut pikiran-pikiran jelek yang terlintas adalah firasat. Tapi aku tidak bisa membedakan mana firasat mana pikiran buruk yang mungkin muncul karena aku lelah"

"Sudahlah mungkin karena kau lelah dengan tugas-tugas ini. Kita terhitung masih mahasiswa baru jadi para senior masih suka mengerjai kita dengan tugas-tugas ospek ini. Sebentar lagi acara puncak ospek. Masa maba kita selesai"

"Iya mungkin saja. Bisakah aku tidur saja? Aku tidak mood"

"Terserah tapi kalau Pak Robert memarahimu aku tidak mau ikut-ikut"

"Sial, dosen killer itu?"

"Kau amnesia? Hari ini kan jadwal beliau. Btw kemana Dave?"

"Katanya sih gak enak badan. Tahu gitu aku juga gak masuk aja"

"Kalian kompak banget sih, sakit aja janjian"

Sepulang kuliah aku pergi ke rumah Dave. Dia bilang badannya demam entah kenapa. Aku ke rumahnya membawakannya buah.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Sudah mendingan karena sudah minum obat tadi. Kau kenapa? Pucat gitu?"

"Entahlah semua orang bilang aku pucat. Tapi aku tidak merasa sakit. Hanya lemas saja. Atau aku yang terlalu pemalas?"

"Mana ada malas sampai pucat? Hahaha... Kalau cari alasan yang logis dong neng"

"Sudahlah kalau terus mengejekku nanti kau....."

"Apa? Jelita tolong jaga kata-katamu"

"Maaf, untung aku bisa berhenti sebelum kalimat jelek itu terucap. Ya Tuhan aku tersiksa sekali tidak bisa berbicara leluasa, hiks..."

"Jangan menangis, kau itu istimewa, hargailah kelebihanmu. Kalau bisa digunakan untuk menolong orang akan lebih baik"

Dave memelukku dengan suhu tubuhnya yang masih terasa hangat. Sedangkan tubuhku terasa dingin. Dave merasa aneh karena biasanya suhu tubuhku cenderung tinggi.

"Apa kau benar-benar tidak sakit Jelita? Kau dingin sekali"

"Benarkah? Aku tidak merasakan apapun"

"Ceritalah, apa kau merasa ada yang aneh. 2 bulan terakhir kau menjadi aneh"

"Aku... Pernah bermimpi. Tapi... Aku takut menceritakan mimpiku kepadamu atau Septa"

"Apakah itu mimpi buruk? Ceritakan saja padaku mungkin kau bisa sedikit lega"

"Aku... Bermimpi aku kehilanganmu"

"Hahaha... Kurasa kau begitu mencintaiku ya Jelita? Kau seperti sangat ketakutan begitu"

"Dave aku serius"

"Sudah jangan menangis lagi. Kenapa pacarku jadi cengeng begini sih? Tidak apa-apa. Aku masih disini. Kita berdo'a saja agar semua baik-baik saja"

Aku mengangguk. Tidak lama setelah itu aku pulang. Sesampainya dirumah aku makan malam dengan papa dan mamaku. Lagi-lagi mereka mengira aku sakit. Ya Tuhan, aku ini kenapa? Tolong beri petunjuk apa yang harus aku lakukan. Ingin rasanya aku menangis tapi aku tidak tahu mengapa aku ingin menangis. Hatiku terasa sakit tapi aku tidak tahu mengapa. Aku sering melamun. Pikiranku kosong. Setelah sholat pun aku menangis tapi aku tidak tahu mengapa.

Malam itu tidurku tidak nyenyak. Keringat dingin mengucur dari keningku. Tiba-tiba dadaku sesak seakan oksigen dalam kamarku telah habis sehingga tidak bisa kuhirup. Dadaku semakin sakit sehingga aku mendadak terbangun dan terduduk dengan nafas tidak teratur seperti orang yang sedang lari maraton. Aku menenangkan diri dan mengatur nafasku dan perlahan nafasku kembali normal.Apakah aku benar-benar sakit? Aku memegangi kepalaku yang terasa pusing namun betapa kagetnya aku melihat pergelangan tangan kananku terluka. Seperti terdapat sayatan pada pergelangan tanganku. Aku tidak merasa tergores apapun. Aku juga tidak habis terjatuh. Pertanda apa ini Tuhan? Hiks...

TBC
Minta tolong vote dan comment nya ya. Terima kasih 😊

What Am I? (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang