Part 10 : Enigma

66 5 5
                                    

8 Desember 2015 ...

"Rara bangun!" teriak mama seraya membuka selimut yang sedari tadi melingkupiku.

"Ah, Mama. Ini belum pagi," keluhku.

"Udah deh, cepetan bangun!" mama pun menarik lenganku dengan paksa, sehingga aku terpaksa membuka mata, meski sebenarnya masih enggan. "Cepetan! Ini pakai kerudung dulu," aku semakin bingung. Untuk apa mama menyuruhku memakai kerudung saat tengah malam seperti ini. Tak tahu apa kalau anaknya ini masih mengantuk.

"Ada apaan sih, Ma? Teroris? Terorisnya nggak tahu diri ya, neror tengah malam begini," celotehku asal.

"Hush...! Bukan teroris. Udah sana keluar," mama pun menyuruhku keluar dari kamar.

Baru saja aku membuka pintu kamar, tepat di depan pintu ada seorang laki-laki yang perawakannya tinggi dengan membawa sekotak kue tart yang di atasnya diberi lilin berangka enam belas. Entah siapa dirinya, wajahnya masih terlihat remang-remang karena lampu di ruang tamu belum dinyalakan.

"Happy birthday, Ra!" ucapnya riang. Aku tak asing dengan suaranya. Dengan caranya memanggil namaku yang berbeda dengan teman-temanku lainnya. Rizky.

Mulutku seakan bungkam. Aku tak menyangka, Rizky bakal memberi kejutan seperti ini. Lagipula seingatku, aku tak pernah memberi tahu tanggal kelahiranku pada siapa pun di sekolah. Lalu, darimana ia mengetahui tanggal kelahiranku?

"Ehm... Thanks, Rizky! Gue nggak nyangka. Kok elo repot-repot banget gini sih?"

"Nggak apa-apa, Ra. Eitss... Make a wish dulu dong, baru ditiup lilinnya," celotehnya ketika aku berusaha meniup lilin berangka enam belas itu.

"Hehehe, iya, iya..." aku pun berdoa dalam hati, dan berharap agar semuanya akan baik-baik saja. Termasuk persahabatanku dengan Abel yang beberapa hari terakhir kian meremang. Semenjak Hari Minggu lalu, saat aku membatalkan janji bersama Bala Kurawa.

Huf...

Lilin berangka enam belas itu pun padam sempurna setelah aku berdoa dan meniupnya.

"Udah kan? Yuk ke depan!" ajaknya seraya meraih tanganku dan ditarik menuju halaman rumah.

"Hah? Ngapain?" tanyaku bingung.

"Selamat ulang tahun, Vira!" ucapnya sekali lagi seraya memperlihatkan puluhan lilin yang telah tertata rapi di halaman. Awalnya aku tak tahu pola apa yang tersembunyi di baliknya. Ternyata di barisan lilin itu tertulis "Happy Birthday Vira".

Aku benar-benar tak menyangka. Rizky menyiapkan kejutan begitu rupa. Ini agak berlebihan menurutku. Seperti FTV saja, pikirku. Berlebihan. Dan lagi-lagi, aku speechless. Tak sadar, air dari pelupuk mataku terjatuh menyentuh pipi, dan bibirku pun terangkat melengkungkan sebuah senyuman. Ribuan kali ucapan terima kasih hanya dapat terlontar dalam hati. Mulutku benar-benar bungkam untuk beberapa menit. Tatapan mataku tak bisa lepas dari lilin-lilin itu. Sungguh indah menurutku. Pasti butuh waktu cukup lama untuk menyiapkan ide sebegitu rupa. Kau memang berlebihan, Riz. Tapi entah mengapa, aku suka. Ucapku dalam hati.

"Hei, gimana? Jelek ya? Kok diem aja," tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Siapa yang bilang jelek? Ini bagus. Bagus banget malah. Makasih banyak, ya. Gue tahu ini pasti susah. Nyiapin semua ini nggak gampang kan?"

"Alah... Biasa saja, Ra. Oh ya, saya punya satu lagi buat kamu," katanya seraya mengajakku duduk di tepi beranda rumah.

"Apa itu?"

"Hanya sepotong puisi sih. Mau denger nggak?" tanyanya.

"Boleh," aku tersenyum, dan pandanganku tak lepas dari lilin-lilin di halaman.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

7 YearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang