Gue minta maaf, Dal. Gue agak telat, lo nunggu beberapa menit lagi, nggakpapa, 'kan, ya? Nanti gue beliin mcflurry, deh, Dal. Makanya jangan pergi dulu.
Gadis itu kesal. Ini sudah satu setengah jam, apanya yang beberapa menit lagi?
Di atas meja sudah ada tiga minuman milkshake dengan rasa yang berbeda-beda, ketiganya dalam keadaan habis tak bersisa. Terbayang, 'kan, berapa lama dan seberapa kesalnya gadis itu menunggu kedatangan sang pengirim pesan?
"Woi," seseorang menutup mulutnya dari belakang. "Tebak kenapa gue tutup mulut lo, bukan mata lo? Biar lo nggak langsung nyemprot gue, hehe." Seseorang itu cengengesan, mengambil tempat di hadapan sang gadis.
Gadis itu tidak merespon.
"Dale?"
Tidak ada tanggapan.
"Dal, gue bawain mcflurry–"
"Bi," gadis yang dipanggil Dale itu bersuara. "Gue nggak butuh mcflurry lo. Lo pikir gue bakal mempan terus disogok sama tuh es krim?"
Hasbi menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Bingung. "Jadi lo nggak mau? Lo maunya apa? Starbucks? Atau Calais? Mumpung hari Rabu juga, Dal, Calais ada promo–"
"Bi, gue nih serius!" tekannya. "Lo udah biarin gue nunggu lo berjam-jam disini, dan lo datang seolah-olah nggak punya dosa! Denger, Bi, gue nggak butuh sogokan dari lo, gue bisa beli pake duit gue sendiri!"
Hasbi menghela napas, mengusap-ngusap wajahnya kemudian menatap Dale. "Gue minta maaf, Dal."
Dale tetap tidak merespon.
"Iya, Dal, iya, gue salah. Tapi serius, gue tadi ada urusan mendadak. Gue telat ngabarin lo karena itu urgent banget," jeda sebentar. "Tapi pada akhirnya gue ngabarin lo juga 'kan, mastiin kalau gue datang."
"Iya, nyuruh gue nunggu gue beberapa menit nyatanya satu jam." Dale bergidik geli. "Satu, dua, atau empat kali masih bisa gue maafin, Bi, tapi ini udah berulang-ulang kali! Lo tuh seakan-akan cari bahan masalah supaya kita bisa kelahi terus!"
"Nggak gitu!"
"Tapi kenyataannya begitu!"
Atmosfir antara Dale dan Hasbi semakin panas. Terlebih Dale, rasanya dia ingin menumpahkan seluruh unek-uneknya yang selama ini ia pendam. Yang ada di hadapan Dale sekarang adalah Hasbi. Hasbi Gafarendra. Kekasihnya selama sebelas bulan, sayangnya, mendadak menjadi orang asing sebulan belakangan ini.
Terlalu banyak perubahan pada Hasbi, juga pada hubungan mereka, dan Dale tidak menyukainya.
Hasbi menghela napas. Matanya meredup dari sebelumnya. "Gue minta maaf kalau akhir-akhir ini gue sering bikin lo nggak nyaman–" Hasbi tersenyum tipis. "Tapi bukan berarti gue nggak sayang lo, ya, Ndut!"
"Kalau sayang mah nggak bakalan nyakitin, Bi," Dale berdesis. "Kemarin lo bikin gue kesel, gara-gara futsal lo. Kemarin-kemarin lagi, lo bikin gue marah gara-gara lo nganterin Kak Tika pulang. Kemarin-kemarin-kemarinnya lagi, lo nggak ngabarin gue, alasannya futsal lagi. Sekarang? Lo telat satu jam, padahal lo sendiri yang tentuin jamnya, Bi...,
"Lo udah beda, gue takut. Udah itu aja." Mata gadis itu sudah berkaca-kaca.
"Mau nangis lo?" tanya Hasbi. "Sini gue peluk dulu," sambungnya. Kemudian menarik Dale ke dalam pelukannya, melingkarkan kedua tangannya di pundak Dale, sesekali mengusap kepala Dale. "Apa yang lo takutin? Gue disini. Gue masih bisa lo peluk sesuka lo, pundak gue masih untuk lo bersandar. Tangan gue akan selalu bisa lo dekap kapanpun. Memangnya gue mau pergi kemana, sih, Dale? Rumah gue 'kan lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Most Painful Tears
Teen FictionPerhatikan baik-baik; -Senja yang sedang kau tunggu-tunggu itu, sebentar lagi datang, dan yaa, sudah terpampang di depan mata! Indah, 'kan? Sayangnya, sudah hilang. -Hujan yang sedang deras diluar sana itu, seolah-olah tidak akan pernah berhenti. T...