Kerumitan yang Tak Berkesudahan

122 9 3
                                    

Begitu bel baru berbunyi, derap langkah Hasbi langsung menggema ke seisi lorong yang masih lengang, langkahnya bagaikan pasukan militer yang sedang menjalankan misi, terlalu cepat. Sementara itu, Sheva juga terburu-buru keluar dari kelasnya, meninggalkan jadwal remedial Fisika yang dilaksanakan setelah pulang sekolah ini.

"Hasbi!" panggil Sheva kencang. Senyumnya timbul ketika Hasbi menoleh ke belakang. Kapan lagi liat Hasbi pulang gak bareng sama Dale, batinnya.

"Yo, Mak Ubi," balas Hasbi. "Abis ngapain lo? Kok ngos-ngosan begitu?"

"Ya ngejar lo la," tukas Dale, kemudian senyumnya semakin mengembang. "Bi, gue minta tolong boleh, ga?"

Hasbi menaikkan sebelah alisnya, lalu berucap. "Minta tolong sih boleh, asal gak minta lontong aja, gue gak jualan."

Tidak ada yang lucu dari ucapan Hasbi barusan, malah terlalu garing untuk didengar. Tetapi untuk Sheva, ucapan Hasbi barusan bisa membuatnya tertawa sampai lima menit ke depan tanpa jeda.

Ya, namanya juga, suka. Ups!

Sheva meraih tangan Hasbi, menggengamnya dengan kedua tangan, lalu wajahnya berubah memelas. "Bi, anterin gue pulang, dong."

"Anterin pulang?" Hasbi mengulang ucapan Sheva, kemudian berpikir sejenak. Hasbi mau-mau saja mengantar Sheva pulang, kalau saja hari ini Hasbi tidak– "Coli for coli nih, Shev. Gue mau jengukin Dale ke rumahnya. Kasihan tadi abis diserbu kecoa dia, sekalian kasih ini," Hasbi memperlihatkan sebuket bunga yang ia pesan melalui ojek online tadi.

Sheva meneguk ludahnya pahit. Tenggorokannya tercekat melihat sebuket bunga itu ada di hadapannya, warna biru dan putih. Warna kesukaannya. Tetapi yang membuat hatinya teriris; menyadari kalau bunga itu bukan untuknya.

"Ta-tapi, 'kan, lo bisa nganterin gue dulu baru ke rumah Dale?" Suara Sheva berubah, sedikit bergetar. Sayangnya tidak disadari oleh Hasbi. "Gue nggak ada yang jemput, Bi, please. Kaffi lagi ada jam tambahan, nggak bisa jemput gue."

Hasbi melepas genggaman Sheva secara perlahan, kemudian menepuk puncak kepala cewek itu dua kali, semata-mata untuk menenangkannya.

"Tadi kata lo, cewek itu suka diprioritasin, 'kan? Sekarang gue mau prioritasin cewek gue dulu. Sekalian gue mau perbaiki hubungan gue sama dia, kasian 'kan, kalau dia nangis Cuma gara gue mulu, ntar gue gak direstuin sama bokapnya. Dicap jadi Calon Mantu yang Belum Jadi Mantu Tapi Udah Durhaka."

Sheva mencibir. "Tapi gue juga butuh diprioritasin, Bi!"

"Makanya cari pacar, Mak Ubi!" ucap Hasbi telak, kemudian tertawa setelahnya. "Gue pergi dulu, ya. Lo udah gue pesenin ojek online, gue pastiin lo selamat sampai tujuan walaupun bukan gue yang nganter."

Mungkin Hasbi tidak pernah menyadari, kalau ucapan Sheva tadi adalah sebentuk kode yang diperuntukkan untuknya. Mungkin Hasbi tidak pernah tahu, bahwa selama ini ia selalu menunggu. Menunggu sesuatu yang ia sudah tahu tidak akan menghampirinya. Mencintai harapan semu yang tidak pernah menjelma nyata. Mungkin juga Hasbi tidak pernah peka, kalau ternyata selama ini, ada hati yang terlalu sabar disini, meski hampir mati ketika dihujam rasa sakit yang berulang-ulang. Menyadari bahwa dia, yang kau cinta, sudah berbahagia dengan orang yang bukan kau.

Tentu saja Hasbi tidak tahu semuanya, karena selama ini; hanya dialah yang mencinta.

***

Sheva membanting pintu kamarnya kasar, membanting tubuhnya hingga terhempas begitu saja di atas ranjang. Beruntung ranjang cewek itu memiliki kadar yang terlalu empuk, kalau sempat tidak, mungkin ia akan segera dilarikan ke rumah sakit karena cedera tulang.

The Most Painful TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang