BAB 1

174 10 0
                                    

Nisa Elena William. Gadis cantik berambut pirang sedang berjalan menuruni tangga. Dengan pakaian serba hitam yang ia kenakan sepulang pemakaman Ibunya. Ya. Ibunya meninggal karena penyakit kanker hati stadium 4 yang tidak pernah diketahui oleh siapapun selain dirinya sendiri. Nisa dan keluarganya hanya tahu kalau Ibunya sehat dan tidak apa-apa. Dan beberapa hari lalu, mereka baru tahu Ibunya mengidap penyakit mematikan itu.

Ibunya meninggalkan Nisa, kakak laki-lakinya bernama Marcel dan satu saudara angkatnya bernama Nindi. Juga Ayahnya yang sangat menyayangi Ibunya itu. Ayah Nisa sangat terpukul dengan kematian Ibunya itu. Ayah Nisa begitu menyayangi Ibunya. Ayah Nisa akan melakukan apapun untuk menyembuhkan Ibunya jika ia tahu sejak dulu. Namun apalah daya, semua sudah terjadi. Mereka hanya bisa terdiam dan merenungkan kenangan.

Nisa menyusuri ruang tamu. Nindi sedang mengobrol dengan orang-orang yang datang untuk berbela sungkawa. Marcel sedang pergi untuk mengurus semua pemakaman dan berkas apapun tentang kematian Ibu mereka. Nisa terus berjalan melewati ruang keluarga. Terpampang foto Ibunya sebesar dinding yang tersenyum padanya. Tertulis Elena Raymond disebelah kanan bawah foto itu. Foto itu membawa kenangan pahit akan kepergian Ibunya karena penyakit yang tiada diketahui sudah 8 tahun menggerogoti tubuh Ibunya tanpa ada seorangpun yang tahu. Namun foto itu juga menimbulkan kesan kehadiran Ibunya dirumah besar tempat ia tinggal ini.

Ia meninggalkan ruangan itu dan masuk kesudut barat rumah. Sebuah ruangan kosong dengan jendela memenuhi dindingnya. Ruangan dimana Ayah dan Ibu Nisa selalu menghabiskan waktu senja bersama sambil melihat matahari terbenam didepan mereka. Dan kini, ruangan itu hanya ada Ayah yang juga masih berbusana hitam berdiri dengan tegak sambil matanya yang terpejam.

Nisa sangat menyayangi Ayahnya. Ia tidak bisa melihat Ayahnya terluka sedikitpun. Entah kenapa, namun hatinya sangat menyayangi Ayahnya. Mungkin itu akibat Ibunya yang selalu menanamkan rasa sayang pada Ayahnya sejak ia kecil. Dan hingga sekarang, apa yang telah ditanamkan Ibunya itu tumbuh dengan subur.

Nisa menghampiri Ayahnya. Mendekatinya lalu menggamit lengan Ayahnya dan menyandarkan kepalanya kebahu Ayahnya itu. Ayahnya lalu membuka mata. Menyadari kehadiran putri kecilnya.

"Ayah merindukan Ibu?" Tanya Nisa pada Ayahnya.

"Tidak" jawab Ayahnya singkat.

"Lalu apa yang Ayah lakukan disini?" taya Nisa kembali.

"Ayah hanya ingin melihat Ibumu" jawab Ayahnya.

"Bagaiamana caranya?" Tanya Nisa. Ayahnya kemudian tersenyum dan memegang lengan Nisa lalu melihat putri kecilnya itu dalam-dalam.

"suatu hari kau pasti tahu caranya" jawab Ayah Nisa singkat sambil tersenyum.

Nisa hanya tersenyum. Wajahnya yang cantik sangat menawan saat ia tersenyum. Bagaimana Ayahnya bisa bertemu dengan Ibunya ? ia juga ingin melakukan itu. Ia juga ingin bertemu dengan Ibunya. Ayahnya sangat menyayangi Ibunya. Ayahnya sangatlah terlihat kehilangan. Ayahnya pasti sangat terpukul dengankepergian Ibunya.

"Kakakmu sudah pulang ?" Tanya Ayahnya lagi.

"Belum" jawab Nisa sambil menggeleng kepalanya.

"Pergilah makan. Kau belum makan sejak tadi pagi" perintah Ayahnya.

"Aku tidak mau makan sendirian" jawab Nisa.

"Mau Ayah temani ?" tawar Ayah Nisa. Nisa hanya menganggukkan kepalanya.

"Baiklah. Ayo kita makan" Mereka kemudian pergi ketempat makan.

---------

Marcel sedang berada di gedung pengadilan. Ia sedang mengurusi surat-surat mengenai kematian Ibunya. Ia kini sedang bicara dengan pengacara keluarganya. Sandy Edward. Seorang lelaki muda yang berbakat. Pengacara termuda dilulusannya. Semua kasus yang dipegangnya selalu berhasil dimeja hijau. Namun, Sandy tak pernah mau membantu pihak yang salah. Baginya, keadilan hanya akan diberikan bagi mereka yang benar. Bukan yang salah.

"Jadi begini Tuan Marcel, Ny. William meninggalkan satu surat wasiat tepat seminggu sebelum beliau meninggal dunia. Juga beberapa surat warisan yang anda juga keluarga anda sudah mengetahui tentang hal itu" jelas Sandy panjang lebar.

"Surat wasiat ?" Tanya Marecel memastikan. Marcel kini wajahnya kosong. Pandangannya entah terfokus pada apa. Wajahnya sangat seirama dengan nada kemeja hitamnya.

"Benar" jawab Sandy singkat.

"Apa isinya?" Tanya Marcel lagi. Sandy kemudian menyerahkan selembar kertas padanya. Marcel membuka dan mulai membacanya.

 Marcel membuka dan mulai membacanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Marcel tertegun membaca surat itu. Ia tak tahu harus bicara apa lagi. Ternyata ada kisah menyedihkan dibalik kehidupan Ibunya yang ia tahu Ibunya tak pernah menangis selama ini. Ibunya selalu tersenyum setiap saat. Bahkan tak ada orang yang tahu bahwa Ibunya telah mengidap penyakit kanker hati. Wajahnya tak pucat sama sekali. Ibunya selalu bahagia. Tak ada raut kesakitan sedikitpun. Padahal, ibunya pasti merasakan sakit luar biasa karena kanker yang menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit. Marcel bangga dengan Ibunya. Ia sangat bangga.

Kini Ibunya telah tiada. Ibunya memberikan wasiat padanya untuk meminta maaf pada Ayahnya. Marcel selalu berfikir ia ingin mendapatkan seorang istri seperti Ibunya kelak. Dan sekarang ia merasa sungguh beruntungnya Ayahnya bisa mendapatkan hati dan cinta Ibunya. Walaupun ia tidak mendapatkan raga Ibunya.

"Dan ini adalah surat-surat tentang kematian Ny. William. Saya harus meminta tanda tangan Tuan William agar bisa mendokumenkan surat-surat ini" celetuk Sandy yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Marcel. Sandy meletakkan beberapa map surat diatas meja depan Marcel. Marcel hanya melihatnya.

"Apakah surat itu perlu saya dokumenkan juga Tuan?" Tanya Sandy sambli menunjuk surat wasiat yang dipegang oleh Marcel.

"Tidak. Tidak perlu" Jawab Marcel.

"Baiklah. Kalau begitu kapan kira-kira saya bisa mengunjungi rumah Tuan William untuk mengurus semua berkas ini ?" tanya Sandy.

"Minggu depan kau bisa datang kerumah, Sandy" jawab Marcel.

"Baiklah, Tuan" sahut Sandy sambil mengemasi berkas-berkas didepannya kemudian berdiri. Marcel tetap duduk dengan pandangan kosong. Ia masih memikirkan kata-kata Ibunya disurat yang ia pegang itu.

"Saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya Ny. William, Tuan. Permisi" pamit Sandy pada Marcel kemudian keluar dari ruangan itu.

Beberapa menit kemudian Marcel juga pergi keluar dari ruangan itu. ia menaiki mobil kemudian pulang kerumah. Surat Ibunya yang tadi dibacanya, disimpan dalam dompet hitamnya. Marcel bertekad untuk menyampaikan pesan Ibunya itu kepada Ayahnya. Apapun caranya, Marcel harus menyampaikannya.

FAR (Saat Kau meninggalkanku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang