04

26 4 0
                                    

Ini adalah hari pertamaku belajar dengan Revaldo.

Setelah mama mengantarku ke rumah tante Kara, tante cantik tersebut langsung saja menyambut diriku dengan hangat. Aku lalu di persilahkan untuk duduk. Kemudian duduk di sofa sambil meletakkan tas milikku sebelum mengambil buku yang akan dipelajari hari ini.

Kulihat Revaldo turun dari tangga. Dia melihatku yang sedang melirik dia. Seketika itu pula jantungku langsung berdegup kencang. Aku langsung memalingkan wajah. Setibanya di bawah, Revaldo langsung saja duduk di sofa yang ada di hadapanku. Sembari menatapku lagi.

"Gue Revaldo Adrian." Katanya sambil mengulurkan tangannya.

Aku memandanginya dengan seksama selama beberapa detik. Dia bakal ngapain nanti? Apa dia bakalan narik uluran tangannya saat tanganku mulai menyambut ulurannya? Apa dia bakalan bikin aku malu sendiri? Huh.. please Maudy, jangan nething dulu. Lalu dengan perlahan aku akhirnya mencoba menyambut uluran tangan cowok itu.

"Gue Maudy Randusufi."

Aku akhirnya menghembuskan nafas lega ketika mendapati ternyata dia tidak berbuat apa-apa padaku.

"Lo itu yang—" Ucapku mencoba mengingatkan tentang insiden kemarin, namun terpotong oleh Revaldo.

"Kita belajar fisika dulu," katanya datar.

Aku mendelik. Dan sosok cueknya muncul lagi. Aku langsung saja mengeluarkan buku paket fisika dan buku tulis kosong beserta pulpen. Dia lalu mulai menerangkan.

Aku menatap Revaldo lekat-lekat. Dia itu lumayan ganteng, putih juga, terus hidungnya mancung, dan emm.. rambutnya juga cool, emang boyfriend goals banget deh. Cuma muka datarnya itu aja yang persis kayak telapak flatshoes rihanna bikin gagal senang.

Brak!

Seketika dia mendadak ngeliat aku, ngeliatnya itu sambil melotot sinis, duh ngeri kayak matanya mau pengen kecopot dan melompat keluar. Jadi bikin jantung bergidik dan... takut dimakan dia.

"Jangan nyamain gue sama flatshoes butut lo itu!"

Seketika jantungku nyaris lompat keperut. Pipiku memerah aku mengerjap. Kok dia bisa tau sih? Padahal aku hanya berkata dalam hatiku sendiri tadi. Sungguh sesuatu yang mustahil bagi dia bisa tau. Apa dia bisa bertelepati ?

"Kok—lo—t–tau?" Kataku terbata-bata.

"Lo pikir gue bego? Lo tadi ngeliatin wajah gue terus-terusan, terus elo berpaling ngeliat flatshoes lo. Itu namanya apa cobak?"

Onyx indah milik matanya menusuk onyx menyedihkan milikku. Aku bergidik ngeri. Ternyata, berhadapan dengan orang pintar itu mengerikan. Tidak sesuai ekspetasiku, sontak aku langsung menunduk dan bermain dengan penaku.

"Lo itu sebenernya dari tadi ngedengerin gak sih?" Sungutnya menatapku sinis. Barusan aku mengintip soalnya.

"Dengerin kok!"

Aku berusaha terlihat polos. Berharap mendapat simpati dari dia. Meskipun aku tau kalau ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan untuk mendapat simpati dari cowok secuek dia. Sangatlah tidak mungkin bagi dia untuk baper.

"Kalo emang lo dengerin, sekarang kerjain soal nomor 1 latihan 1 sekarang!"

Mataku membesar. Boom! Tamatlah riwayatku.

Bagaimana ini? Sudahlah dari tadi aku tidak mendengarkan dia sama sekali. Duh! Aku harus apa? Dengan tidak yakin aku akhirnya mengambil pulpen dan buku tulis dengan gemetaran. Aku membaca soal dan langsung saja mencoba mengerjakannya. Satu langkah sukses kubuat. Setelah itu aku kebingungan. Njir, enggak ngerti!

Pletak!

Dan satu jitakkan akhirnya mendarat mulus di ubun-ubunku.

"Adaww!" Aku meringis dan mengusap ubun-ubun.

Revaldo baru saja menjitakku menggunakan gulungan kertas. Kemudian menatapku dengan tatapan sinis. Matanya membulat lebar, semakin menonjolkan kegalakkannya.

"Makanya, kalo orang lagi jelasin tuh di dengerin. Kenak kan jadinya?"

Dan satu kesalahan pertama, sukses kubuat dengan sempurna.

●●●

Hari ini aku lumayan cepat sampai ke sekolah. Aku membenarkan cepolan mungilku di bangku. Aku duduk sendirian karena teman sebangkuku, Arini, baru saja pindah sekolah dua minggu lalu. Balqis dan Nabilla yang baru saja datang dari luar langsung saja duduk di kursi mereka, tepat dibelakangku, sambil bergosip ria.

"Katanya, dia itu dingin banget!"

"Iya! Dia tuh sebelas dua belas kayak kak Edra-lah!"


Mataku langsung membulat lebar begitu mereka menyebutkan nama Edra. Apa apa? Ada apa? Apa ada berita baru tentang dia? Maaf maaf jangan salahkan aku yang terlalu menggemari Edra sampai sampai langsung heboh ketika nama itu disebutkan. Tapi bila kutelaah lagi, kurasa mereka tidak sedang membicarakan soal Edra.

"Namanya itu-- siapa ya? Lupa. Pokoknya dia itu anaknya pemilik toko kue terkenal itu."

"Punya pacar gak tuh? Kalo enggak kan bisa di gebet,"

"Ha ha ha, kagak tau dah. Tapi boleh juga!"

Dan aku pun hanya berooh-ria. Sebenarnya sih apa yang mereka bicarakan itu tidak penting juga. Aku lalu memilih untuk membaca buku saja. Beberapa saat kemudian, kelas mendadak senyap. Murid-murid langsung tergesa-gesa kembali ke tempat duduknya masing-masing karena guru matematika minat selaku wali kelas kami sudah berjalan menuju kelas.

Kemudian kudapati ternyata bu guru tengah membawa seorang anak baru yang cukup membuat mereka—para siswi—terkesima. Jika semua siswi disini terkesima, maka hanya aku sendirilah disini yang terdiam. Lebih terdiam mati kutu lagi ketika Bu Mey meminta anak baru itu untuk duduk di sampingku.

Dia adalah Revaldo Adrian, siswa baru di kelasku, di kelas 11 MIA 5. Dan aku terpelongo dalam diam.

●●●

RemaudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang