Tiga

5.3K 451 36
                                    

Sejak pemakaman Jane seminggu yang lalau, Jenie tak sekali pun keluar dari kamarnya. Dia masih di rundung duka atas kepergian Jane.

Kamar yang selalu terang benderang kini gelap tak ada cahaya sedikit pun. Tirai kamar dibiarkan tertutup, dan lampu pun tak ada yang di nyalakan satu pun.

Jenie terdiam di pojokan tempat tidurnya. Dalam gelap dia masih terus menangis dan mengenang sosok saudara kembarnya.

"Jen, tirainya buka ya agar sinar matahari masuk?" tanya Ibu Sofia yang masuk ke dalam kamar putrinya.

"Gak mah, biarkan tirai itu tetap tertutup,"

"Sampai kapan kamu akan seperti ini Jen?"

"Sampai Jane hadir kembali,"

Deg...jantung Ibu Sofia berdegup dengan kencang saat mendengar jawaban putrinya. Dia tak pernah menyangka bahwa Jenie akan menjawab seperti itu.

"Tuhan...ada apa dengan putriku?" bisik batin Ibu Sofia.

Setitik air mata jatuh membasahi pipi Ibu Sofia, ibu mana yang tak sedih memdapati kondisi anaknya yang sudah bagai mayat hidup sejak kepergian saudara kembarnya yang lain.

Perlahan Ibu Sofia merengkuh tubuh Jenie ke dalam pelukannya seolah ingin menenangkan putrinya dan membawanya keluar dari semua kesedihannya. Tapi sayang, Jenie menolak untuk dipeluk oleh Ibu Sofia.

Ibu Sofia ingin memaksa Jenie masuk ke dalam pelukannya, tapi dia tak ingin membuat putrinya merasa terpaksa hingga berakibat tak baik pada sisi psikologisnya.

Akhirnya Ibu Sofia hanya dapat membelai rambut Jenie yang tak lagi tertata rapi dengan lembut dan penuh cinta.

"Kamu mau makan apa Jen?" tanya Ibu Sofia mencoba memecahkan kesunyian di dalam kamar putrinya.

"Udang saus padang mah,"

Deg...kembali jantung Ibu Sofia berdegup dengan kencang saat mendengar jawaban dari Jenie. Air mata yang tadinya hanya jatuh setitik, kini mulai membanjiri pipinya.

Ibu Sofia berlari keluar dari kamar Jenie. Dia sudah tak tahan lagi dengan semua perubahan sikap putrinya. Dia merasa ada yang salah dengan putrinya.

Jenie tak pernah memakan udang, bahkan dia alergi dengan seafood. Tapi sekarang, sekarang dia meminta udang sebagai menu makannya.

"Ada apa kak?" tanya Tante Tian saat melihat Ibu Sofia berlari keluar dari kamar Jenie dengan air mata yang membanjiri pipinya.

"Jenie Ti, Jenie...,"

"Ada apa dengan Jenie kak?"

"Jenie minta makan dengan udang, dia alergi udang Ti,"

"Lalu kenapa dia minta udang?"

"Itu makanan kesukaan Jane,"

"Ya Tuhan...,"

Kini bukan hanya Ibu Sofia saja yang menangis karena sikap Jenie, tapi juga Tante Tian. Mereka sama-sama merasa ada yang salah dengan diri Jenie.

Seberapa sayangnya Jeniw pada Jane, tak pernah Jenie makan udang walau hanya sesuap. Dia akan selalu menghindari udang walau Jane memaksanya.

Tapi sekarang, saat Jane telah pergi dia meminta makan dengan udang. Dia seolah tak sadar telah meminta sesuatu yang telah menjadi pantangannya sejak dia masih kecil.

Jenie benar-benar telah berubah sejak kepergian Jane. Tiada lagi senyum dan tawa yang selalu menghiasi wajahnya. Tiada lagi Jenie yang selalu mengurus wajah dan tubuhnya dengan baik.

Kini Jenie benar-benar kusut, dia tak lagi menata rambutnya dan menjadikannya sebagai bahan eksperimen dari model rambut terbaru.

Wajah cantiknya tak pernah lagi terpoles alat-alat make up yang tertata rapi di meja riasnya. Bahkan Jenie sudah tak pernah lagi memegang facial wash sekedar hanya untuk membersihkan wajahnya.

Jenie yang sekarang sungguh berubah 180 derajat dengan Jenie yang dulu. Semua bersedih atas kepergian Jane dan juga atas perubahan yang di alami Jenie.

***

Malam beranjak semakin larut tapi mata Jenie belum juga terpejam. Dia masih dalam posisinya selama beberapa terakhir ini, meringkuk di pojokan tempat tidur.

Mulutnya bergetar menggigil, wajahnya semakin lama semakin pucat.

Sudah dua hari Jenie tak menyentuh makanan sedikit pun, dia seolah menghukum dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada Jane.

Makanan yang sedari tadi di antarkan ke kamarnya tak disentuhnya sedikit pun. Makanan itu teronggok begitu saja di meja samping tempat tidurnya.

Jenie mengeratkan pelukannya pada lututnya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan agar bibirnya tidak bergetar.

Semakin lama gigitan Jenie semakin keras hingga bibirnya mengalirkan darah segar. Di bukan berhenti, tapi dia terus menggigitnya.

Teng...teng...teng...jam dinding besar yang ada di ruang keluarga berbunyi sebanyak 12 kali menandakan malam berada di puncaknya.

"Jane...," teriak Jenie.

Dia sangat ingat kalau Jane tidak menyukai suara dentangan jam itu. Beberapa kali Jane meminta kepada Ibu Sofia untuk menjual jam itu, tapi Ibu Sofia menolaknya.

Mata Jenie tiba-tiba nyalang dan seperti sosok seseorang di tengah gelapnya malam. Dia mulai beranjak dari tempat tidurnya dan membuka tirai yanh ada di kamarnya.

"Jane...," lagi Jenie berteriak memanggil Jane dengan suara lantang seolah Jane akan mendengar suaranya dan akan datang di hadapannya.

Tiba-tiba Jenie melihat sekelabat bayangan berjalan di hadapannya. Tak jelas memang, tapi bayangan itu dapat di lihat oleh Jenie.

"Jane kamu datang?" tanya Jenie pada bayangan yang tadi lewat.

Semenit dua menit tak ada jawaban apa pun. Yang ada hanya suara petir yang berulang kali bergemuruh di langit malam menandakan akan turun hujan yang sangat deras.

"Jane...," lagi Jenie memanggil Jane walau kali ini dengan suara yang lirih.

Lagi tak ada jawaban apa pun yang di demgarnya. Dia mulai berkeliling di dalam kamarnya dan membuka semua tirai di kamarnya.

Kilat-kilatan petir yang menakutkan terlihat jelas dari kamar Jenie. Dia tiba-tiba membuka semua jendela kamarnya dan memandang langit malam yang gelap.

"Jane...," lagi Jenie memanggil nama Jane ke arah luar kamarnya.

Tak ada jawaban dari siapa pun, yang ada hanya suara petir yang semakib keras dan di susul dengan hujan yang turun dengan sangat deras hingga percikannya masuk ke dalam kamar.

Jenie tak beranjak dari sisi jendelanya, dia terus menikmati air hujan yang memercik ke tubuhnya yang ringkih.

"Jane, apa kamu kedinginan di sana?"

Hening, hanya ada suara petir dan hujan yang memenuhi malam yang gelap. Tak ada satu hewan malam pun yang bersuara.

"Jane, aku bawakan kamu payung ya ke sana agar kamu gak ke hujanan,"

Tubuh ringkih Jenie beranjak dari sisi jendela. Dia mengambil sweater rajut berwarna merah dan memakainya.

Ceklek

Jenie membuka pintu kamarnya dan segera berjalan keluar kamarnya menyusuri lorong rumahnya. Tak ada seorang pun di lorong karena semuanya telah tertidur dalam pelukan malam yang dingin.

Perlahan Jenie menuruni tangga rumahnya. Terkadang dia berjalan sempoyongan karena tak ada tenaga untuk melakukan aktivitas.

Bruk

Terdengar suara jatuh dari ruang keluarga. Jenie segera berjalan ke sana dan mendapati sebuah buku terjatuh dari lemari.

"Jane, kamu di sini?"

Bloody RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang