Ruang Makan

6 3 0
                                    

Gabrielle duduk tenang di kursinya. Ia kini tengah menunggu sang ratu, ibunya, untuk sarapan bersamanya. Pelayan pribadinya yang bernama Viviane berdiri di dekat tembok bersama beberapa pelayan lain termasuk sang koki, Brenda. Mereka semua menatap Gabrielle yang hanya diam di kursinya dengan kedua tangan di pangkuannya, begitu anggun. Namun juga begitu berbeda, membuat semuanya merasa canggung dan aneh bahkan saat tadi sang putri masuk ke ruang makan dengan pandangan datar dan langkah tak bersemangat. Oh, dan jangan lupakan riasan tipis dan baju hitam nya yang entah kenapa membuatnya seperti mayat hidup.
Biasanya dia akan masuk ruangan dengan senyuman dan menatap satu persatu pelayannya yang ada di dalam ruangan. Menarik kursinya sendiri lalu duduk sambil menaruh kedua tangannya di atas meja. Dan menggunakan keduanya untuk menopang dagunya. Jika orang lain tak kunjung datang seperti ini, ia akan mengoceh pada para pelayan menanyakan banyak hal. Seperti kabar, masakan apa yang di masak, apakah mereka tidak bosan, bahkan ia sampai menanyakan hal konyol seperti berapa jumlah pohon ceri di kebun, kapan wortel akan di panen, kenapa burung berkicau di luar jendelanya di pagi buta dan memaksanya bangun pagi. Banyak hal aneh yang biasanya dilakukan si bungsu dari kerajaan Aliento ini. Memang aneh, namun para pelayan terhibur dan terlanjur menyukainya. Membuat mereka merasa aneh saat sang putri memutuskan untuk muram dan tetap berduka walau masa berduka telah berakhir beberapa waktu lalu.

Saat mereka asyik memperhatikan sang putri, tiba-tiba pintu ganda ruangan itu terbuka menampakkan sang ratu dalam balutan gaun hijau tuanya yang anggun. Ia masuk di ikuti pelayan setianya Anne. Ia segera duduk di kursinya dan mengangguk pada Berenda memberi tanda bahwa makanan sudah bisa di hidangkan. Ia menatap putri bungsunya yang kembali duduk setelah berdiri menyambutnya tadi. Tentu dengan gerakan malas yang benar-benar bukan dirinya. Dan sang ratu tidak dapat untuk tidak menyadarinya. Menyadari perubahan sikap putrinya. Ini sudah bukan lagi waktu berkabung namun putrinya itu masih memakai gaun pemakaman yang menyedihkan. Aliento bahkan sudah melalui masa berkabung dua kali lebih lama dari aturannya. Bahkan dirinya walau dengan hati berat, memutuskan bangkit dan menerima kenyataan. Namun sepertinya, putri bungsunya ini bahkan tak mrmiliki motivasi appun untuk bangkit. Ia lebih kurus dari sebelumnya, pipinya yang chubby, kini sedikit tirus. Terdapat lingkaran hitam tipis di bawah matanya. Bahkan riasan tipisnya tak dapat menyembunyikan mata sembab dan sayu yang bengkak itu. " Gabrielle " Ratu Vanessa memutuskan untuk memecah keheningan ini. Ia merasa ruang makan yang seharusnya tenang tidak seharusnya berubah mencekam dan menyedihkan.

Gabrielle hampir tersedak daging kalkun yang baru saja di kunyahnya. Ia tak mengira ibunya akan angkat bicara, ia tahu bahwa ibunya adalah tipe penggila ketenangan yang tidak banyak bicara. " Iya yang mulia" jawabnya sambil menatap ibunya. " Perlukah kita memanggil Samantha untuk membawakan gaun baru? " ucap sang ibu. " Tidak perlu ibu, aku memiliki cukup banyak gaun" Gabrielle berucap lirih. " Ini sudah melampaui toleransi berkabung , sayang"jawab ibunya seraya meletakkan garpu dan pisaunya. " Mereka akan mengerti " jawab Gabrielle lagi. " Begitu? Lalu kau akan terus seperti ini? Mengabaikan kewajiban dan tugas-tugas mu? " Ratu Vanessa mungkin berucap tenang sambil meraih kembali garpu dan pisaunya, lalu memotong daging di piringnya, dengan tenang pula. Namun semua pelayan disana tahu bahwa sang ratu memiliki emosi lain yang takkan bisa di tebak.

Ratu Vanessa memasukkan potongan terakhir daging kalkunnya kedalam mulutnya dengan anggun. Lalu menatap putrinya srkali lagi. Mengamati putrinya yang bahkan belum menyelesikan separuh makannya. Putrinya msih diam dan bergerak tanpa semangat. " Aku tidak suka melihat baju pemakaman di ruang makan Gabrielle, mungkin kau butuh pelajaran tata krama mu, bukannya gaun baru" ucap sang ratu sebelum beranjak pergi dari ruangan itu meninggalkan Gabrielle yang masih duduk diam ditempatnya. Oh, ratu tidak berkata dengan nada membentak atau apapun yang membuat seisi ruangan terdiam, hanya sebuah kalimat datar namun cukup untuk membuat yang mendengarnya membeku.

Die LuftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang