Chapter 03

14 0 0
                                    

Kini aku ada dimana?

Aku belum dapat membuka mataku penuh. Masih berbayang-bayang dan buram sekali. Masih terasa sakit diperutku sehabis pukulan itu. Aku masih ingat. Wajahku juga luka-luka Karna pukulan itu.

"Tenanglah, kau sebaiknya beristirahat. Lukamu cukup berat", Suara seorang wanita. Apa dia guru?

Dia mengobati lukaku, saat aku masih benar-benar merasa belum dapat melihat penuh. "Ah sakit!", Ujarku. Dia memberikan kain dingin berisi es batu, dan digunakan menyembuhkan luka di wajahku.

"Tenanglah! Kau memang keras kepala ya", katanya. Mulai dari kata itu aku tau siapa dia. Tapi aku mencoba memastikan.

"Siapa kau?", Tanyaku

Hmm... Dia menghembuskan nafas. Dan menjawab. "Apalah untungnya jika kau mengetahui Jawaban itu?", Dia memberikan isyarat.

"Sasa! Itu kau?", Aku kaget.

Dengan penuh kesyukuran, aku baru ingat dia adalah ketua organisasi PMR sekolah. "Sasa, bagaimana kau bisa disini?". Tanyaku.

"Aku ingin mengobati lukamu. Kau sakit dan dibawa kemari, sudah tugasku merawatmu.", Jawabnya.

"Kau berkelahi dengan 7 senior kita, itu adalah prilaku tidak baik. Jangan diulangi!", Serunya.

"Tapi mereka menyerangku lebih dulu. Mereka mencoba membullyku apa yang akan aku lakukan untuk menentang itu? Kulawan mereka semua.", Jelasku.

"Kau seharusnya sadar, perkelahian itu tidak baik, apalagi di sekolah. Kau dapat terkena panggilan dari para guru.", Nasihatnya.

"Iya aku tau, tapi sa...", Aku mengelak.

"Tidak ada tapi-tapi! Jika kau berkelahi lagi, Aku tak akan mau merawatmu lagi.", Katanya.

Wanita ini benar-benar​ tak mengerti aku. Tapi untungnya ada dia yang mengobati luka-lukaku. Aku berfikir dan bernafas pelan.

"Sa...", Panggilku.

"Ya?..."

"Terimakasih ya, mau merawatku. Maaf aku menyulitkanmu.", kataku penuh dengan ketulusan.

Dia tersenyum. Aku bisa melihat senyumnya sekarang. "Iya tidak apa", jawabnya.

Kita saling menatap. Tapi aku masih merasa buram dimataku.

"Hmm, ngomong-ngomong. Aku telah mendapat lembar jawabanmu, dan kau benar. Aku merasa, aku telah kalah. Kau benar tidak mencontek. Kau lakukan dengan cepat dan dengan hasil yang baik. Itu gak yang bagus.", Katanya.

"Berapa nilaiku?", Tanyaku.

"100, nilai sempurna"

"Sial!", Ujarku.

"Kenapa kau berkata seperti itu? Kau orang yang sangat pintar ternyata. Aku hanya mendapat nilai 74 di ujian ini. Apa rahasiamu?", Tanyanya.

"Kau mau mendengarnya?", Kataku.

"Katakanlah! aku akan mendengarkan", jawabnya.

Kini mataku telah bersih aku bisa melihat lagi. Aku sekarang ada di UKS dan wajah itu benar-benar ada didepan mataku. Aku menceritakan semuanya.

"Sebenarnya aku benci keramaian. Aku suka sendiri. Memiliki nilai bagus membuatku dipandang orang banyak dan aku tidak suka itu. Tapi aku menjadikanmu selalu nomor satu, aku tau potensimu. Kau pintar dan aku yakin kau bisa jadi lebih baik...",

"Selama ini aku melakukan hal ini saat ujian. Mengisi jawaban dengan benar dan mulai menghapus dan menentukan potensimu. Agar nilaiku berada dibawah nilaimu. Mudah untukku mendapatkan hasil terbaik. Tapi aku tak menyukai hal itu.",  lanjutku.

"Jadi selama ini kau bersembunyi dibelakangku?", Tanyanya.

"Kumohon jangan marah, aku sudah katakan hal itu kepadamu. Kau harus mengerti.", Jelasku.

Dia tak percaya hal itu. Dia benar-benar kaget dengan penjelasanku. Dia merasa dia bukanlah orang yang pintar disekolah. Dia merasa dirinya sangat kecil dibanding diriku.

"Tapi bagaimana kau bisa sepintar ini?", Tanyanya.

"Aku belajar dengan cepat. Ini keturunan. Ayahku adalah seorang yang pintar dan kini dia berada di Jepang. Tapi semua itu tak penting. Yang penting adalah maukah kau mengerti aku. Menjadi seseorang tempatku bersembunyi dari banyak orang?", Kataku.

Dia melihatku. Kaget. Seperti tak percaya ada orang jenius didepan wajahnya. Dia mundur-mundur​Karna tak percaya akan hal itu. Tapi jawabannya benar-benar menjadi penentu aswes.

"Baiklah, aku mau.", Dengan menghembuskan nafas panjang. Dia menjawab dengan ketulusan.

Itu membuat aswes tersenyum dan percaya padanya sekarang.

"Sa... Terima kasih lagi ya", senyumku.

Dia juga tersenyum.

Dengan begitu dia mau menjadi tempatku bersembunyi dan aku berjanji padanya aku tak akan berkelahi lagi.

***

Setelah ini aku pikir masalahku selesai, aku berfikir aku telah mengalahkan mereka. Kenyataannya, salah Candra semakin memperhatikanku. 7 orang itu sepertinya mengincarku dia selalu melihat ke kelasku. Terkadang seseorang anak laki-laki di kelasku berkata, "aswes, Candra selalu ingin menghabisimu! Aku disuruh berkata hal ini padamu.".

Sehampir semua anak di kelas pernah di perintah untuk berkata hal itu. Bahkan si kecil Joy yang duduk di sebelahku juga pernah berkata seperti itu.

Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan, setelah perlawananku kemarin mereka jadi semakin semena-mena pada junior. Mereka telah merasa menguasai sekolah. Ini ancaman besar. Aku tak bisa biarkan itu.

Aku tak mau semua teman-temanku menjadi budak orang keparat itu. Aku yakin aku bisa melawannya. Namun, aku sudah berjanji tidak akan berkelahi lagi pada Sasa. Apa yang akan aku lakukan?

Sampai suatu hari Joy datang dan berkata dia telah di pukuli oleh mereka dan itu tak bisa dibiarkan. "Aswes, Candra bilang dia siap menghabisimu kapan saja!", Dia berkata pesan yang sama setiap hari.

Aku telah kehabisan kesabaran. Dan aku berkata pada Joy. "Jika kau bertemu dengannya lagi besok, katakan aku akan melawannya di lapangan dijam istirahat! Dan jika aku menang berjanjilah mereka tak akan mengganggu junior lagi!", Ucapku.

"Apakah kau benar?", kata Joy.

"Aku tak ingin kau selalu seperti ini sahabatku", jawabku.

Before The Jaksteel Born (Part 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang