2. Menik Melepas Mimpi

9.3K 766 23
                                    

Keadaan seperti ini pasti kita katakan tidak adil.

Dikala kejelekan menimpa kita, sering kita marah dengan Tuhan, di mana Dia berada, namun sebaliknya kebaikan menghampiri, malah kita lupa Tuhan.

Aku berusaha mencerna keadaan sekembalinya dari rumah Eyang Antari, kenapa harus seperti ini dan akupun tidak kuasa memilih.

Diperjalanan pulang pun, aku membisu, Bapak dan Ibu sepertinya tidak ingin mengusik ku, mereka diam tanpa suara.

Aku langsung mengunci diri di kamar, menangis, meratapi keadaan yang harus aku lalui, berusaha melepas beban berat yang menghimpit dada.

Akhirnya lelah menyergap diri, tubuh, hati serta kepala ku tidak kuasa menopang keadaan yang terjadi.

Kegelapan menyelumuti diri, kesunyian membelenggu, ingin rasanya tidak terbangun dari alam tidur ini.

Pagi menyapa dengan kicauan burung - burung di ranting dan dahan pohon, sedang sinar mentari menerobos melewati dedaunan.

Mata ku mengerjap terkena sinarnya, mata ku membuka sambil memicing menyesuaikan dengan ruang yang semakin terang.

Aku duduk di tepian ranjang, badan terasa remuk, lelah masih membungkus tubuh.

Melangkahkan kaki menuju kamar mandi, aku melihat pantulan wajah di cermin.

Bengkak  sekali mata ku, sebaiknya segera mandi, mungkin ini adalah takdir yang harus ku jalani.

Setelah membersihkan diri, berganti pakaian, aku melangkah keluar kamar.

Ku lihat Ibu sedang menyiapkan sarapan, biasanya aku membantunya, untuk pertama kalinya aku telat bangun dan berharap ini yang terakhir tidak membantu Ibu.

"Maaf Bu, Menik kesiangan."

"Ndak papa, wis duduk!"

Aku tahu Ibu selalu tersenyum kepada ku, senyum tulus yang membuat ku selalu semangat menjalani hari - hari terberat dalam hidup seperti hari ini.

"Makan yang banyak Nduk!"

"Iya Bu, tidak biasanya masak banyak seperti ini?"

"Ibu lagi malas masak, ini sekalian buat siang sama sore."

Kembali senyum itu terbit di wajah Ibu, aku tahu ia melakukannya untuk menyenangkan ku, anaknya ini kan doyan makan.

Untunglah tubuh ku tidak melar berapapun makanan yang masuk ke tubuh ku.

Itulah yang membuat iri teman - teman ku, disaat mereka diet, aku dengan lahapnya makan di depan mereka.

Kenapa selalu mereka membandingkan dengan model, aku pikir model - model itu terlalu kurus, sudahlah terserah mereka.

"Sudah makannya?"

Itu suara Bapak, orang tua ku selalu membicarakan perihal serius setelah kami selesai makan.

"Sudah Pak."

Kalau membicarakan hal serius saat makan takutnya tidak jadi makan, dan inilah saatnya.

"Maafkan kami Nduk, kami tidak kuasa menolak permintaan Ibu Antari."

"Tidak apa - apa, Menik tahu, kita memang berhutang banyak dengan keluarga Eyang Antari, mungkin dengan ini jadi impas."

"Bagaimana dengan nak Hasto?"

Aku ingin menangis ketika nama itu disebut, nama teman kecil ku sekaligus pria yang menjadi kekasih ku.

"Bapak dan Ibu tidak perlu risau, Menik akan jujur ke Mas Hasto bahwa tidak ada jalan lagi buat kami bersama."

Aku tersenyum dan aku yakin kedua orang tua ku tahu bahwa senyum ini tidak sampai mata.

The Fox Lady                                       ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang