1. Perjalanan Baru Menik

12.4K 906 11
                                    

Malam ini aku sedang dipanggil Eyang Antari.

Kalau melihat gelagatnya, ada hal serius yang akan dibicarakan dengan ku.

Aku sekeluarga sangat mensyukuri dengan kebaikan keluarga Antari.

Aku disekolahkan sampai perguruan tinggi, keluarga ku diberikan rumah dekat dengan perkebunan.

Keluarga Eyang Antari adalah pemilik perkebunan teh dimana Bapak menjadi mandor.

Setiap ke ruang kerja Eyang Antari, aku harus siap dengan segala ilmu ekonomi dan management yang diberikannya serta beberapa etika yang harus aku pelajari, sebenarnya buat apa.

Belajar bahasa asing selain bahasa Inggris, mempelajari berkas - berkas, presentasi.

Dan banyak lagi yang harus aku pelajari, tetapi itu tidak membebani, kebaikan Eyang Antari tidak tahu bagaimana caranya aku membalasnya kelak.

Mendekati ruang kerja Eyang Antari selalu membuat ku agak gugup.

Karena untuk pertama kali, aku tidak perlu membawa buku atau apapun untuk pelajaran yang akan diberikan Eyang Antari.

Setelah menetralkan jantung ku, aku mengetuk pintu ruang kerja Eyang Antari.

Tok.

Tok.

Tok.

"Masuk!"

Aku mendengar suara Eyang Antari meminta ku ke dalam.

Perlahan aku membuka pintu, melangkahkan kaki, memasuki ruangan yang selalu membuat ku terintimidasi.

"Kemarilah Menik!"

Aku membelalakkan mata, terkejut melihat orang yang ada di ruang ini.

"Duduklah!"

Walaupun suara Eyang Antari pelan namun terlihat ketegasan di dalamnya.

"I - Iya, Menik duduk."

Aku masih heran, kenapa Bapak dan Ibu dipanggil juga.

"Tidak usah heran kenapa Bapak dan Ibu mu, Eyang panggil kemari!"

Eyang sepertinya tahu tentang keheranan ku.

"Maaf karena Eyang tidak hadir di wisuda mu lagi, dulu lulus S1 sekarang S2."

Eyang Antari menggelengkan kepala dan memasang wajah sedih ketika menatap ku.

"Tidak apa Eyang, Menik tahu Eyang sibuk."

Aku memasang wajah ceria dengan senyum setulus mungkin.

"Sebenarnya Eyang masih ingin melihat langsung kamu wisuda."

"Tenang Eyang, ada photo dan videonya, walaupun tidak langsung tapi..."

"Benarkah, kapan - kapan kamu harus memperlihatkan pada ku!"

Aku dan Eyang saling melempar senyum, begitulah kami, seperti Nenek dan cucu kandung.

"Menik."

Begitu suara Eyang Antari pelan dan terdengar serius, aku tahu inilah saatnya, aku berusaha tenang, menyiapkan diri untuk sesuatu yang besar.

Aku menatap Eyang Antari menunggu apa yang akan dikatakannya, sedang ekor mata ku menangkap kegelisahan kedua orang tua ku.

"Kamu tahu, kenapa Eyang memanggil mu?"

Aku menggeleng pelan, memang kenyataannya tidak tahu.

"Kamu tahu, kenapa Eyang menyekolahkan mu dan mendidik keterampilan serta etika?"

The Fox Lady                                       ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang